Pekan Baru dan Palangkaraya, Kota Jelaga Asap
Proses politik (pelaksanaan berbagai perundingan para pihak) tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tingkat dunia cukup menelan biaya tidak sedikit. COP 13-UNFCCC Bali yang diselenggarakan pada 2007, Indonesia yang menjadi sekretariat pelaksana membelanjakan sekitar 3 juta USD yang diambil dari APBN tahun 2007. COP14-UNFCCC Poznan, Polandia, biaya penyelenggaraan untuk sekretariat pelaksana sebesar 2 juta USD dan total pelaksanaannya mencapai 35 juta USD.
Dari dua pelaksanaan perundingan tentang perubahan iklim menjelang berakhirnya Protokol Kyoto pada 2012 oleh para pihak tersebut, hasil yang dicapai tidak signifikan. Negara-negara maju yang diharapkan segera mengurangi penggunaan energi fosilnya, seperti Amerika, Canada, Australia, Jerman, Norwegia, dan negara annex I (negara emitor karbon dioksida) lainnya belum bersepakat tentang besaran dan skema kompensasi pengurangan emisi bagi negara-negara yang wilayahnya berpotensi menyerap karbon (carbon sink). Walau beberapa negara maju seperti Amerika dan Jerman, jauh sebelum gunjang-ganjingnya pembicaraan dunia tentang perubahan iklim, sudah melakukan “debt swap” (pengalihan hutang) untuk penyelamatan keaneragaman hayati dan hutan tropis semisal hubungan bilateral Amerika-Indonesia, Jerman-Indonesia, Amerika- Filipina dan lain-lain.
UN-REDD, proyek adaptasi dan mitigasi untuk 8 negara berkembang termasuk Indonesia melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan yang mendapatkan bantuan dari badan hibah pemerintah Norwegia secara sukarela, untuk Indonesia sebesar 5 juta Euro (kurang lebih 75 milliar rupiah). Proyek UN-REDD di Indonesia hanya akan fokus pada satu pilihan wilayah (pilot proyek). Dengan harapan, Indonesia sudah siap menjual skema REDD dalam perundingan-perundingan dunia antara negara berkembang dan negara maju tentang perubahan iklim.
Biaya-biaya dari proses politik (diplomasi dan negosiasi) tentang pengurangan emisi karbon atau perubahan iklim tidak hanya saat pelaksanaan UNFCCC, proses-proses politik menjelang pelaksanaan UNFCCC semisal pada saat menjelang COP15 di Compenhagen, Denmark, juga menelan biaya tinggi. Di Indonesia dalam setahun sudah melebihi dari dana APBN yang diperuntukkan mengurusi sektor kehutanan yaitu melebihi 12% nilai APBN Kehutanan tahun 2009.
Sementara itu, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim skema voluntary market (jalur perdagangan karbon) yang dikembangkan lembaga-lembaga internasional FFI, TNC, dan lain-lain belum terdengar berhasil mengurangi pelepasan emisi karbon dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Dalam rentang tiga bulan terakhir hingga Juli 2009, wilayah-wilayah yang menjadi uji coba adaptasi dan mitigasi dari penurunan deforestasi dan degradasi hutan, semisal Aceh, Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat, justru mengalami tingkat kebakaran hutan dan lahan lebih masif. Wilayah udara Riau dan sekitarnya hampir sebulan diasapi kebakaran rawa gambut, di Kalimantan Tengah hingga seminggu lalu kebakaran hutan dan lahan tidak bisa cepat dibendung, yang menyebabkan Kota Pekan Baru dan Palangkaraya layak disebut Kota Jelaga Asap.