KPSHK. Bogor, Februari 2017.
Genap sudah 1 tahun Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 yang ditandatangani Presiden Jokowi sejak awal bulan Februari 2016. Peraturan tersebut berisi tentang percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (KSP) pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 bertujuan untuk terpenuhinya satu peta yang mengacu kepada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data dan satu geoportal guna percepatan pelaksanaan pembangunan nasional. Kebijakan ini juga dianggap sangat mendesak dilakukan sebagai upaya mencegah tumpang tindih dan konflik pemanfaatan ruang.
Guna mewujudkan percepatan perluasan Wilayah Kelola Rakyat melalui Kebijakan Satu Peta, maka JKPP menginisiasi rangkaian Seminar Nasional Satu Tahun Implementasi Kebijakan Satu Peta. Nara sumber dalam Diskusi Panel Perluasan Wilayah Kelola Rakyat, menghadirkan Nanti Kasih (Kemendes), Budi Suryanto (BPN), Agus Nurhayat (PSKL), Nurhidayati (Walhi), Dewi Kartika (KPA), dan Moh.Djauhari (KpSHK).
Menurut Nanti Kasih program KSP merupakan peluang baru untuk desa mendapatkan kejelasan mengenai sertifikat sehingga terhindar dari tumpang tindih kepemilikan. Senada dengan Nanti Kasih menurut Budi Suryanto program KSP tersebut bermanfaat untuk menata ulang kepemilikan dan penguasaan tanah atau ketimpangan, serta meningkatkan ketahanan pangan dan energi. Agus berharap pengumpulan data pemetaan 12,7 Jt Ha bisa tepat sasaran dan menyarankan kepada kawan-kawan jaringan tidak perlu terburu-buru dalam melakukan pemetaan wilayah.

“Wajar seringkali kami pandai melihat kelemahan-kelemahan pemerintah, disamping itu pemerintah juga harus pandai melihat kelemahan kami (NGO). Untuk memetakan 12,7 Jt Ha bukanlah nilai yang kecil, sementara sedikit sekali kawan-kawan yang mendampinginya. Wajar saja kami (NGO) keras mengkritik pemerintah, sementara kita juga lemah dalam mendapatkan dukungan dari pemerintah” , jelas Moh. Djauhari dalam diskusi tersebut.
Yayah (Nurhidayati) mengatakan “Peraturan tersebut merupakan modal awal untuk memulai pmetaan Perhutanan Sosial, namun perlu adanya keterbukaan akses informasi ijin-ijin HGU yang masih berlaku maupun terlantar, selain itu pemetaan wilayah memerlukan aggaran dasar dana yang tidak sedikit.”
Dalam 5 tahun terakhir, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang menjadi pintu masuk pengakuan wilayah kelola rakyat. Dengan kebijakan ini, JKPP bersama Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) dan jaringan berupaya mendorong pengakuan peta partisipatif untuk menegaskan pengakuan atas Wilayah Kelola Rakyat. Pada Agustus 2015 , dalam konteks Perhutanan Sosial, JKPP bersama KpSHK dan BRWA telah menyerahkan peta partisipatif seluas 6.125.377 ha kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peta Partisipatif ini telah berkontribusi pada Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). JKPP juga terlibat dalam mendorong implementasi skema IP4T di beberapa wilayah kerja. Termasuk dalam upaya mempercepat identifikasi dan inventarisasi Wilayah Adat termasuk upaya percepatan pengakuan Hutan Adat melalui Peraturan Daerah dan kebijakan lain di tingkat Pemerintah Daerah.
Dewi Kartika mengatakan, “Proses konsolidasi mendorong reforma agraria dan PS akan lebih mudah bila porses percepatan ekspansi regulasinya bisa dipangkas. Sehingga tidak selalu terjebak pada peluang dan prosedural.”
Pada akhirnya diharapkan didapatkan pemahaman yang trerbuka dan postif untuk implementasi KSP diantara para pemangku kepentingan melalui pemetaan partisipatif. Serta ada sikap agenda Pemerintah kedepan untuk mendukung percepatan perluasan wilayah kelola rakyat melalui pemetaan partisipatif.
#KPSHK#