KPSHK. Bogor, November 2016.
Pelaksanaan perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun terus menerus terjadi ekspansi besar-besaran menimbulkan berbagai kesenjangan, perubahan ekologis serta konflik agraria. Sampai tahun 2016 luas perkebunan kelapa sawit sekitar 15,5 juta Ha. Masyarakat adat mewarisi hak mengelola kekayaan alam, namun setelah masuknya perkebunan kelapa sawit masyarakat adat kehilangan kendalinya. Peningkatan perekonomian perkebunan kelapa sawit tidak sejalan dengan budaya, identitas budaya, dan sepiritualitas. Oleh karena itu SWI (Sawit Watch Indonesia) pada 22 November 2016 melaksanankan seminar dengan tema “Hak-Hak Masyarakat Adat dan Perkebunan Kelapa Sawit”. Menghadirkan pembicara diantaranya Kasmita Widodo dari BRWA (Badan Registrasi Wilayah Adat), Deny Rahadyan dari JKPP (Jaringan Kerja Partisipatif), Halim dari KPSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan), Abadon Nababan dari AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).
“Para aktifis sudah dan terus berusaha mendata masyarakat adat namun negara sendiri belum menyediakan wadah untuk mendaftarkan masyarakat adat”, ungkap Abdon Nababan dari AMAN.
Negara sudah mengakui keberadaan serta hak masyarakat adat yang tertuang pada UUD 1945 terutama pada Pasal 18B ayat (2). Namun dalam praktiknya masih timbul pelanggaran karena belum ditetapkan antara hutan adat dan hutan negara. Memicu lahirnya gugatan terhadap Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dimana Mahkamah Konstitusi memutuskan soal hutan adat bukan lagi hutan negara melalui Putusan Nomor 35/PUU-X/2012MK No. 35. Kata negara dihapus dari rumusan Pasal 1 Angka 6 UU Kehutanan hingga menjadi, “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Menurut MK, berdasarkan Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan, maka status hutan dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataan masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.”
Sejalan dengan tujuan untuk percepatan pengakuan hak adat menurut Denny Rahadian dari JKPP menyampaikan “Perlu adanya gerakan satu peta merupakan pemetaan wilayah adat sebagai alat penguatan masyarakat adat dan penyelesaian konflik agraria. Pemetaan partisipatif untuk mendapatkan pengakuan legal, penguatan dari pemerintah, peta sebagai acuan penyelesaian konflik”.
Seiring berjalannya usaha untuk mendapatkan pengakuan hutan adat para aktifis terus berupaya melakukan eksisting terhadap keberadaan masyarakat adat di kawasan hutan adat. Salah satunya KPSHK melaksanakan program perluasan Wikera (Wilayah Kelola Rakyat) PSDABM atau Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat di tiga provinsi Kolaka-Sulawesi Tenggara, Lombok Utara dan Lombok Timur.
Menurut Halim dari KPSHK mengatakan bahwa, “Dasar program PSDABM yaitu Permen No. P. 83/MENLHK-SETJEN/2015 peraturan tersebut peluangnya sangat terbuka namun memiliki hambatan teknis dalam pelaksanaanya”.
Sementara itu dari pihak BRWA lembaga yang dibentuk sejumlah LSM dari AMAN, JKPP, FWI, SWI, dan KPSHK menjadi wadah untuk menyatukan peta wilayah kawasan.
“Peta wilayah adat yang terdokumentasi sangat penting sebagai OMP (One Map Police) semua peta-peta yang ada terdokumentasi di BRWA untuk menghadirkan eksisting wilayah masyarakat adat” ungkap Kasmita Widodo dari BRWA.
Harapannya dengan ketersediaan data peta wilayah adat dapat memaksimalkan terkait penyelesaian konflik oleh komnas HAM sebagai bahan acuan. Serta menjadi rujukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk memperoleh izin berkebun tanpa merambah wilayah hutan adat yang dapat menimbulkan konflik.
#KPSHK/Aris.