Mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan cenderung melalui pelaksanaan Perhutanan Sosial yang sejak 1980-an ditolak beramai-ramai oleh gerakan masyarakat adat dan gerakan lingkungan serta demokratisasi sumberdaya alam di Indonesia. Kecenderungan ini diperkuat dengan berbagai janji-janji Pemerintah bahwa masyarakat sekitar hutan dan dalam hutan akan mendapat pengakuan hak mengelola kawasan hutan dan dapat memperbaiki kehidupan ekonominya melalui penerapan Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007 (PP No.3 tahun 2008) tentang Pelaksanaan Perhutanan Sosial dan Kesatuan Pengelolaan Hutan.
Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, dan Kemitraan menjadi satu hegemoni baru tentang pelibatan masyarakat dalam pembangunan kehutanan di Indonesia. Padahal masyarakat sekitar hutan hanya mendapatkan akses kelola terhadap kawasan hutan tidak lebih 2% dari total kawasan hutan yang saat ini ditetapkan Pemerintah seluas 137,3 juta ha. Sebelumnya, Pemerintah sangat sadar, klaim masyarakat atas kawasan hutan melebihi angka 56%. Dengan memperlakukan masyarakat seperti layaknya pelaku industri kehutanan, harus mengantongi ijin resmi pengusahaan hutan, pelaksanaan PP No.3 tahun 2008 menghilangkan (baca: melupakan) hak ulayat atas hutan adat-hutan adat dari 75 juta orang yang menyebut dirinya masyarakat adat di Indonesia.
Hegemoni tersebut terlihat semakin kuat. Perhutanan Sosial adalah jawaban atas pengentasan kemiskinan sekaligus untuk mitigasi perubahan iklim. Bicara HKm, Hutan Desa, HTR dan Kemitraan implikasinya masyarakat akan mendapatkan keuntungan ekonomi dengan cara mengusulkan kawasan hutan di sekitarnya untuk menjadi areal Perhutanan Sosial. Harapan akan datangnya keniscayaan “masyarakat pinggir hutan akan sejahtera melalui Perhutanan Sosial” semakin terasa saat mencuatnya kesuksesan Pemerintah Indonesia meyakinkan Pemerintah Kerajaan Norwegia hingga memberikan hibah sebesar 1 miliar dolar Amerika untuk pelaksanaan pengurangan emisi karbon dari penurunan deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).
Rumit dan Anggaran Minus
Banyak hasil kajian dan telaah tentang proses pengajuan hingga penetapan areal kerja Perhutanan Sosial menyatakan rumit dan membutuhkan kesadaran pelayanan birokrasi yang humanis. Langkah-langkah pengajuan Perhutanan Sosial sangat tidak mudah dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat pinggir hutan. Ada 30-an langkah birokratis dalam proses pengajuannya. Dan ini yang cukup memakan waktu panjang bagi masyarakat untuk bolak-balik berhadapan dengan para pihak seperti pendamping, bupati, gubernur dan menteri kehutanan.
Dengan masa pelaksanaan 3 tahun (2007-2009), Program HKm dan Hutan Desa dengan target capaian 400.000 ha pada akhir 2009, menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial-Kementerian Kehutananan (2010), Pemerintah hanya mampu menetapkan 50.000 ha HKm (40.000 ha) dan Hutan Desa (10.000 ha). Alasannya, masih banyaknya hambatan berkenaan dengan kepastian hukum lahan hutan, tumpang tindih kewenangan di pemerintahan, prosedur pengajuan yang rumit, inkonsistensi pelaksanaan kebijakan oleh pemerintah, kapasitas sumberdaya manusia yang rendah baik masyarakat maupun birokrasi, dan masih adanya keengganan birokrat kehutanan melayani masyarakat dengan tulus.
Kondisi tersebut disadari pihak Kementerian Kehutanan. Selain kurangnnya sosialisasi kepada Pemerintah Daerah hingga menyebabkan kekuranganpahaman beberapa bupati dan gubernur soal Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan mengalami defisit anggaran untuk melakukan percepatan pelaksanaan Perhutanan Sosial. Pada 2010, Pemerintah menargetkan 500.000 untuk penetapan areal kerja HKm dan Hutan Desa yang ditengarai anggaran dari APBN kurang mencukupi hingga membutuhkan suntikan dana dari sumber lain. Dan kondisi ini yang menyebabkan Kemenhut mencadangkan 500.000 ha dari pelaksanaan Perhutanan Sosial (target HKm dan Hutan Desa di 2010) sebagai kontribusi bagi mitigasi perubahan iklim.
Matinya Hutan Adat
Sejak masyarakat adat menjadi satu konstituen utama yang harus dilibatkan dalam perjanjian-perjanjian kerjasama mitigasi perubahan Iklim antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Negara-Negara Maju yang mengkompensasi pembuangan emisi karbonnya dengan cara menjaga hutan di Indonesia, terutama setelah hasil COP14-UNFCCC di Poznan, gerakan masyarakat adat yang mulai menjauh dari karakter awal dibangunnya, yaitu sebagai pihak yang berhadapan langsung dengan negara dengan konsep kedaulatan bulat, sesuai semboyannya “kalau negara tidak mengakui kami, kami tidak mengakui negara”, telah tunduk kepada negara.
Hutan Adat sebagai satu dari beberapa bentuk Perhutanan Sosial yang akan menjadi alat pengakuan masyarakat adat atas wilayah dan hukum adatnya oleh negara pupus di tengah jalan. Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat yang bergulir seumur dengan kebijakan-kebijakan Perhutanan Sosial lainnya (semisal PP No.6 tahun 2007) hingga kini seolah ditelan jaman dan jauh dari perhatian baik oleh masyarakat adat maupun pendukungnya. Terbukanya peluang masyarakat pinggir dan dalam hutan untuk mengajukan HKm, Hutan Desa, HTR, dan Kemitraan, tidak menutup kemungkinan bagi kelompok yang mengidentifikasi dirinya masyarakat adat akan menjadi pengaju dari model-model hukum pengelolaan kawasan hutan ini.
Saat masyarakat adat mengajukan HKm, Hutan Desa, HTR, dan Kemitraan baik dengan tujuan pemanfaatan untuk mitigasi perubahan iklim atau pun lainnya, masyarakat adat telah menggali kuburnya sendiri. Hutan Adat yang selama ini menjadi simbol klaim masyarakat adat atas kawasan hutan dan wilayah ulayatnya telah termajemukkan ke dalam model Perhutanan Sosial lainnya. Padahal banyak pihak mengakui dan meyakini masyarakat adat adalah masyarakat yang memiliki sistem sosial-budaya yang berbeda dengan masyarakat yang bukan adat.
Andai Dari Dulu
Tidak terbayang, jika areal kerja HKm, Hutan Desa, HTR, dan Kemitraan melampaui angka 40 juta hektar kawasan hutan negara. Paling tidak ada sekitar 80 juta orang sudah mendapat akses terhadap kawasan hutan dari pelaksanaan Perhutanan Sosial yang sedari 1980-an diperkenalkan Pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat pinggir hutan. Namun hal ini tidak dapat dibaca linier, karena pasti banyak pihak yang menyanggah, semisal kondisi pemerintahan tidak seperti sekarang, yang oleh banyak pihak dianggap lebih reformis dan humanis.
Kondisi pemerintahan yang lalu sangat tertutup dan nyaris tidak bisa menerima kritik. Pembangunan kehutanan menjadi satu-satunya simbol devisa negara non migas yang berkarakter state full penguasaan atas sumberdaya hutan dan melimpahkan pengelolaannya kepada swasta. Hingga perhutanan sosial ikut menjadi keburukan pengelolaan hutan oleh negara yang sekarang menjadi idola banyak kalangan karena memberikan peluang (pragmatis) rakyat dapat mengelola kawasan hutan secara legal. Dan mengapa tidak dari dulu?