Bappeda Nusa Tenggara Barat (NTB) memaparkan NTB memiliki 3 masalah yang perlu segera ditangani yakni kemiskinan, kerentanan dan kesenjangan. Jumlah penduduk miskin NTB mencapai 793.776 jiwa (BPS NTB 2017) dan 40 % merupakan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan. Untuk mencapai pada perubahan perekonomian yang lebih baik pengelolaan lahan, kesempatan usaha dan sumberdaya manusia harus berjalan dengan baik. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyediakan 12,7 juta Ha lahan hutan untuk Perhutanan Sosial (PS) yakni akses kelola lahan hutan kepada masyarakat miskin yang tinggal di sekitar kawasan hutan.
Menurut Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS) Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK, Ir. Erna Rosdiana, M.Si, Saat ini 1.053.477,50 Ha lahan yang sudah diberikan ijin kelola kepada masyarakat dengan jumlah kelompok yang telah difasilitasi sebanyak 2.460 kelompok pengembang usaha. NTB sendiri berdasarkan Peta Indikasi Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) 477,721 Ha lahan hutan dan yang sudah diberikan ijin seluas 20.419,35 Ha atau kurang lebih 4,2 % dari potensi PIAPS.
Terkait anggaran, menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ir. Madani Mukarom, M.Si target anggaran untuk PS yakni 150 juta di tahun 2018. Dimana inovasi PS di NTB yaitu KPH berkoalisi. Kemitraan memberikan akses legalitas ke masyarakat untuk bersama-sama mengelola kawasan hutan dengan KPH. Program KPH tidak hanya berbasis pada ekononi tetapi juga ekologisnya.
GPM MCA-Indonesia, Jamal Gawi menjelaskan ada beberapa catatan PS di Indonesia seperti (1) Akses PS di Indonesia terkecil di Asean dibanding dengan Vietnam dan Filipina. Padahal luas kawasan hutan Indonesia terbesar ke 3 di dunia; (2) PS mempunyai target seluas 12,7 juta Ha akan tetapi sampai Agustus 2017 baru 8% yang dicapai serta hanya 16.300 Ha lahan hutan di PIAPS yang layak dijadikan PS karena akses yang sulit; (3) Permasalahan ditingkat tapak masih sangat kompleks terutama antara target dan respon dipusat; (4) Belum adanya penyelesaian konflik dan pembagian peran terutama peran dari pusat; (5) Proses perijinan PS masih panjang yang dimulai dari masyarakat pengusul hingga sampai ke kementrian; (6) Anggaran Pusat yang terbatas.
MCA-Indonesia mencoba merumuskan pengembangan skema PS yakni legalitas, budidaya (on-farm), pengolahan paska panen (off-farm), dan akses pasar. Akan tetapi sampai saat ini masih diproses legalitas sedangkan untuk on-farm, off-farm dan akses pasar belum dioptimalkan.
Niat masyarakat, pemerintah maupun NGO (Non Government Organisation) pendamping untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat pinggir hutan tidak boleh berhenti hanya karena adanya kendala. KLHK memberikan akses legal ke masyarakat untuk mengelola kawasan hutan akan tetapi pemberian akses kelola tidak sampai pada pengentasan kemiskinan. Hal ini dikarenakan dana KLHK untuk pemberdayaan masyarakat sangat minim sehingga diharapkan untuk mewujudkan pengentasan kemiskinan melalui PS perlu juga dukungan dari kementerian/kelembagaan lain seperti BUMN, Kemendes, Kementrian Pertanian dan sektor lain.
#KpSHK/Nova#