(Bagian-1)
Sejak istilah Hutan Adat diciptakan negara sebagai bagian dari Hutan Negara (dalam UU No.41/1999) tentang Kehutanan, sebelum adanya keputusan MK (Mahkamah Institusi) No.45 dan No.35/2013 sebagai hasil Judicial Review terhadap UU tersebut, sejak itu pula terjadi pemarginalan penguasaan hutan, wilayah dan ruang hidup Masyarakat Adat yang semakin kuat oleh Negara.
Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) sebagai praktik pengetahuan masyarakat pinggir (dan dalam) hutan yang berakar dari pengalaman-pengalaman masyarakat adat/lokal dalam mengelola sumberdaya hutan dan alam perlu menjadi referensi pengelolaan hutan dan sumberdaya alam dalam kerangka pengembalian Hutan Adat kepada Masyarakat Adat pasca keputusan MK No.35/2013.
“Harapannya para pendukung SHK tidak hanya mengklaime sekian model masyarakat punya model kelola. KpSHK sebenarnya ingin mendorong kembali, mengidentifikasi ulang wilayah-wilayah SHK, hal ini butuh dukungan rekan-rekan yang bekerja di basis masyarakat seperti SPKS, JKPP, AMAN, dll.”, tutur Moh.Djauhari (Koordinator KpSHK) dalam pembukaan diskusi, 12 Juli 2013 di Saung SHK, Bogor.
Menurutnya, tujuan yang ingin dicapai dalam diskusi agar pendukung SHK punya bayangan di mana wilayah-wilayah yang bisa dipromosikan cepat dalam konteks memperkuat pemantapan klaime Hutan Adat setelah keputusan MK.
“Untuk wilayah-wilayah konflik seperti di Sumatera Utara, Plang-plang Hutan Adat sudah terpasang, kemudian juga di Halmahera Utara, di wilayah konflik sudah terpasang Plang Hutan Adat”, ungkap Taryudi dari Rumah AMAN-Bogor. Menurutnya bagi yang telah jelas pemetaannya pemasangan plang-plang terus berjalan meskipun tidak masif karena tetap menunggu peta selesai.
Foto. KpSHK – Percepat Pelaksanaan Putusan MK melalui Penerapan SHK.
Presiden SPKS, Mansuestus Darto mengusulkan bahwa ‘best practices’ SHK seharusnya bisa dibenturkan dengan model baru konservasi yang berbasis pada korporasi itu. Bahwa inisitaif global berbasis konservasi sangat kencang, misal HCS (Hight Carbon Stock) ini lagi trend dipromosikan oleh Palm Oil Inovative Group. HCS bisa dibenturkan dengan wilayah-wilayah kelola rakyat,sebab konservasi berbasis korporasi akan langsung diinvestasikan. “Ancaman SHK tidak hanya HTI, tambang dan perkebunan besar seperti sawit, tapi juga investasi-investasi di bidang karbon itu sebagai ancaman”, jelas Darto.
Apa itu SHK?
Demikan sentil Andri Santosa, Sekjend FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat).
SHK sebenarnya model kelola, yang terkait dengan pendekatan hak seperti HA, bergulirnya ide-ide atau skema-skema yang ada adalah legalitas beberapa klaime masyarakat terhadap kawasan hutan, atau klaim masyarakat untuk mengelola hutan yang legal kemudian masuk ke skema HD (Hutan Desa), HTR (Hutan Industri Tanaman Rakyat), HKm (Hutan Kemasyrakatan) dan Hutan Adat (HA).
Sebelum keputusan MK. Hutan Adat ada beberapa problem ketidaskepakatan devinisi, kemudian SHK sebagai model kelola sama-sama tidak diakui dalam konteks kebijakan.
“SHK sebenarnya representasi model kelola HA, karena SHK berangkat dari nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat adat dalam mengelola hutannya. Bagaimana kemudian masyarakat adat mengambil kembali wilayah kelolanya. SHK tidak luput dari wilayah kelola masyarakat adatnya, yang kemudian dikenal dengan kearifan lokal, budaya setempat, dll”, tegas Djauhari.
Apa yang mau dikonsolidasikan?
Apakah untuk mempercepat keluarnya Perda-perda Hutan Adat. Beralihnya HUTAN NEGARA menjadi HUTAN ADAT. Apakah kesempatan politik yang terbuka ini mempercepat beralihnya HN ke HA dgn keluarnya Perda-perda HA? Demikian pertanyaan kritis yang dilontarkan Sekjend WGT (Working Group Tenure) Idham Arsyad.
Beliau mendorong KpSHK dan AMAN untuk mempercepat pelaksanaan putusan MK. “Arahannya SHK itu hak. Seharusnya ada Konsolidasi Multilateral untuk mempercepat HA ini di dapat (misalkan Konsolidasi AMAN, FKKM, KpSHK, WGT, dll). Kita identifikasi peran-peran, siapa memainkan apa?” terang Bogel.
(Bersambung ke Bagian-2)