K.P. SHK

Surat Penolakan RPP Gambut

Yang Terhormat Bapak Presiden Republik Indonesia,

Kami yang bertandatangan di bawah ini menyambut baik langkah kepemimpinan Bapak dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim. Komitmen yang Bapak wujudkan melalui Instruksi Presiden tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut serta Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca merupakan sebuah langkah maju.

Kami menyadari bahwa perubahan iklim lebih disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak bijak dalam pengelolaan sumberdaya alam yang kemudian turut berkontribusi dalam menghancurkan lingkungan. Kebijakan tersebut di atas bisa menjadi langkah awal yang baik dalam menjamin perlindungan hutan alam yang tersisa dan ekosistem lahan gambut. Hal ini sangat  mendesak karena deforestasi, konversi lahan gambut, dan kebakaran hutan masih merupakan sumber emisi GRK terbesar Indonesia yang menyisakan kerusakan dan bencana lingkungan.

Selain merupakan wilayah kaya karbon, ekosistem gambut juga merupakan wilayah hidup masyarakat adat/ lokal dan juga rumah bagi keanekaragaman hayati khususnya bagi spesies endemik (iconic species) Indonesia seperti harimau sumatera, bekantan, orang utan, gajah sumatera, dan sebagainya.

Saat ini, yang mengusik perhatian sekaligus menjadi kekhawatiran kami adalah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPP Gambut). Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut dirasa tidak cukup kuat untuk melindungi ekosistem gambut, bahkan terkesan lemah jika dibandingkan dengan INPRES No. 6 tahun 2013. Saat ini, berdasarkan analisa peta dan data resmi dari pemerintah, hampir 40% ekosistem gambut telah diberikan izin untuk dieksploitasi, dan yang tersisa sekitar 60% terlindungi, itupun karena berlokasi di wilayah konservasi, lindung, dan moratorium (PIPIB). Sedangkan pemantauan dan anlisis lokasi sebaran titik api selama Bulan Februari 2014, ditemukan bahwa 75% kebakaran terjadi di lahan gambut.

Pengaturan tentang Perlindungan Ekosistem Gambut semestinya menjadi sebuah upaya perlindungan total ekosistem gambut karena sifatnya yang tak terpulihkan (irreversible). Namun sangat disayangkan, isi RPP ini memberi toleransi tinggi terhadap kerusakan ekosistem gambut dengan membagi ekosistem gambut menjadi fungsi lindung dan fungsi budidaya yang menjadi penentu kriteria baku kerusakan.

Secara khusus, alasan kami menyerukan penundaan pengesahan dan pengkajian kembali RPP ini adalah sebagai berikut:

Materi muatan RPP ini cacat secara hukum, karena:

Pertimbangan teknis: 1) Ketentuan Pasal 35 dalam RPP ini bertentangan dengan Pasal 98 dan Pasal 99 UU 32 tahun 2009 sebab pelanggaran terhadap kriteria baku kerusakan adalah delik pidana, yang dapat dikenakan sanksi pidana, bukan sanksi administratif sebagaimana yang diatur dalam RPP ini; 2) Penentuan pengaturan tentang kriteria baku kerusakan ekosistem gambut dengan kedalaman kurang dari satu meter kedalam izin lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Ayat (2) RPP ini melanggar semangat penegakan hukum UU 32 Tahun 2009, sebab pelanggaran kriteria baku kerusakan adalah tindakan pidana sementara tindakan pelanggaran izin lingkungan merupakan pelanggaran administrasi.

Pembedaan ketentuan kriteria baku kerusakan ekosistem berdasarkan fungsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 RPP ini adalah tidak rasional sebab gambut adalah satu kesatuan ekosistem

Bapak Presiden yang kami hormati, sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang berjuang bersama Bapak dalam membantu penyelamatan hutan dan ekosistem lahan gambut di Indonesia, kami berharap agar Bapak terlebih dahulu memastikan beberapa hal:

  1. Menyusun PP tentang kriteria baku kerusakan ekosistem gambut sesuai dengan mandat Pasal 21 ayat (3) huruf  f UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  2. Melakukan kaji ulang dan audit lingkungan untuk perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah gambut.
  3. Sebelum melakukan penataan perlindungan dan pengelolaan gambut, pemerintah seharusnya mendahulukan penyusunan PP Inventarisasi Lingkungan Hidup,  PP  Penetapan Wilayah Ekoregion, dan PP Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan ditetapkannya PP ini Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat menyusun grand design perencanaan lingkungan secara menyeluruh dan terpadu, di mana rencana Perlindungan dan Pengelolaan ekosistem gambut (RPPE Gambut) merujuk kepada RPP LH tersebut.
  4. Melakukan inventarisasi lingkungan hidup sesuai dengan mandat Undang-undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan  memastikan bahwa kebijakan tersebut dilanjutkan dengan penetapan wilayah ekoregion serta penyusunan RPPLH nasional dan daerah.
  5. Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus segera menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan local, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan mandat Pasal 63 Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  6. Melakukan konsultasi publik yang memadai dan mempublikasikan kajian akademis  terkait dengan rencana penerbitan kebijakan ini.
  7. Melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang lahannya terbakar.
  8. Melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam dan penataan ruang
  9. Mengidentifikasi wilayah kelola masyarakat hukum adat dengan mengacu kepada keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012

Bapak Presiden Republik Indonesia yang kami hormati, di akhir masa kepemimpinan Bapak Kami menaruh harapan besar agar lahir satu kebijakan perlindungan hutan dan ekosistem lahan gambut yang kuat dan tegas, sebagai warisan berharga bagi rakyat, hutan Indonesia dan penyelamatan iklim global.

Demikianlah surat ini kami sampaikan, sebagai bagian dari kepedulian kami untuk masa depan Indonesia yang lebih hijau, sejahtera dan damai. Atas perhatian yang Bapak berikan kami ucapkan terimakasih.

 

Jakarta, 12 Maret 2014

Hormat kami,

Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia:

  1. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Abet Nego Tarigan, Direktur Eksekutif, e-mail; nego@walhi.or.id
  1. HuMa, Andiko, Direktur Eksekutif, e-mail; andiko@huma.or.id
  1. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif, e-mail; henrisubagiyo@gmail.com
  1. Forest Watch Indonesia (FWI), Christian Purba, Direktur Eksekutif, e-mail; bob@fwi.or.id
  1. Bank Information Center (BIC), Nadia Hadad, e-mail; nhadad@bicusa.org
  1. Debt Watch Indonesia, Diana Gultom, Koordinator Riset, e-mail; dianagoeltom@gmail.com
  1. Forum Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Iklim, Mida Saragih, Koordinator, e-mail; csf.cji@gmail.com
  1. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Deny Rahadian, Direktur Eksekutif, e-mail; denyrahadian@gmail.com
  1. Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), Mohammad Djauhari, Direktur Eksekutif, e-mail; tjongpaniti@gmail.com
  1. Greenpeace, Longgena Ginting, Kepala Kantor, e-mail; longgena.ginting@greenpeace.org
  1. SAMPAN Kalimantan, Fajri Nailus Subchi, Direktur Eksekutif, email; fajri_nailus@yahoo.com, perkumpulansampan@gmail.com
  1. LINGKAR Borneo, Ahmad Asmungin, Direktur Eksekutif, email; linkarborneo@gmail.com
  1. KKI WARSI, Diki Kurniawan, Direktur Eksekutif, email; di_awan2005@yahoo.com
  1. Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMG-J), Rudiansyah, Sekjend, email; rudi.jambi@gmail.com
  1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan, Sekjend, email; abdon.nababan@aman.or.id

 

Tembusan:

  1. Menteri Lingkungan Hidup
  2. Menteri Kehutanan
  3. Menteri Pekerjaan Umum
  4. Menteri Pertanian
  5. Kepala BAPPENAS
  6. Menteri Dalam Negeri
  7. Kepala UKP4
  8. Kepala BP REDD+

 

Leave a Reply

Lihat post lainnya