Sustainable Forest Management (SFM/Pengelolaan Hutan Lestari) menjadi salah satu pilihan untuk upaya mitigasi perubahan iklim dalam skema pembangunan kehutanan saat ini. PHL termasuk ke dalam upaya REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation). Sejak 1995, KpSHK bersama anggota dan mitra di daerah secara berturut-turut telah mengidentifikasi keberadaan situs SHK (Sistem Hutan Kerakyatan) di 700 desa dan kecamatan (2001), wilayah kelola rakyat di 14 Taman Nasional di Indonesia (2005) hingga didapat sebaran SHK seluas 16,7 juta ha di seluruh Indonesia (2009).
Masyarakat mengelola dan menguasai sumberdaya hutan dalam bentuk unit-unit kecil dan secara berkelompok. Bentuk unit-unit kelola hutan tersebut dikenal dengan berbagai sebutan setempat (repong damar, huma, parak, ladang, kebun hutan, pangale, simpuqn, tembawang, dll). Walau belum sepenuhnya mendapat pengakuan Pemerintah (lokal/nasional), unit-unit kelola tersebut telah mendapatkan pengakuan publik dan pasar sejak dulu karena memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat dan pasar. Komoditi-komoditi tertentu semisal getah karet, getah damar, rotan, madu, biji kemiri, kulit manis, jasa lingkungan dsb adalah penopang ekonomi masyarakat.
Konsep pengelolaan hutan lestari ini dimaksudkan melestarikan hasil produksi, panen yang berkelanjutan yang dilakukan sesuai dengan nilai lingkungan hidup dan kelestarian sumber daya alam dan hutan yang dapat menjamin keberlanjutan sumber penghidupan di dalam masyarakat. Proses pengembangan Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) telah didengungkan sejak KTT Bumi Rio de Janeiro dengan mengeluarkan prinsip-prinsip dalam pengelolaan hutan lestari meliputi, kepemilikan hutan, tujuan pengelolaan Sumberdaya hutan, kebijakan dalam pengelolaan hutan, langkah-langkah dalam pengelolaan dan pembangunan hutan, nilai hutan, keseimbangan manfaat ekonomi dan ekologi, pendanaan, teknis dan system pemasaran hasil hutan, peranan hutan tanaman.
Perumusan pengelolaan hutan lestari tersebut juga dimasukan kedalam UU Kehutanan No. 41/1999, dimana pada bagian kedua “Asas dan Tujuan” di Pasal 2 menyebutkan “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan”,dan pada Pasal 3 “Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan : Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yangproporsional; Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari; Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan”.
Sejalan dengan tujuan SFM dan dukungan KpSHK bagi penguatan kelompok pelaku SHK untuk mendapatkan kepastian hukum atas hak kelola/hak menguasai sumberdaya hutan dan perluasan wilayah kelola rakyat dengan mencoba menerapkan sertifikasi Plan Vivo di 3 wilayah kerja mitra unit pengelolaan SHK (Solok Selatan, Luwuk, Kerinci) dengan dukungan pembiayaan dari ICCO akan melaksanakan satu program “Membangun Unit Kelola SHK”. Program ini akan dilaksanakan dalam waktu satu tahun (1 Januari- 31 Desember 2014).
Maka KpSHK menyelenggarakan diskusi pengembangan model sertifikasi dalam pengelolaan hutan lestari pada 10 Februari 2014 bertempat di Wisma Griya Insani Cendekia, Bogor, untuk mengembangkan dan mengkombinasikan model sertifikasi yang ada di kawan-kwaan CSO dalam rangka peningkatan mutu pelestarian hutan sebagai nilai tambah masyarakat.
Sharing pengalaman kawan-kawan CSO sebagai pelaku pengembanagn model pengelolaan hutan lestari, dan masukan pelaksanaan program KpSHK dalam mengembangkan pengelolaan hutan lestari di 3 wilayah pengembangn unit pengelolaan SHK
Narasumber utama, Indara S.Dewi dari LEI berbagi “Pengalaman Sertifikasi PHBML di Sungai Utik, Kapuas Hulu”, Rendro dari Greenpeace menjelaskan “Pendekatan HCS (Hight Carbon Stock)”, dan Zain Noor Rahman dari Perhimpunan SHOREA berbagi pengalaman “Sertifikasi Hutan Rakyat di Gunung Kidul”. (Inal)