Penerapan Ekonomi Hijau Perlu Tiga Syarat
Siaran Pers. Jakarta, 20 Februari 2013 – Penerapan Ekonomi Hijau di Indonesia telah masuk kedalam debat dan pembahasan di tingkat kebijakan serta penerapan di tingkat masyarakat. Karena itu sangat jelas diperlukan partisipasi semua pihak terutama masyarakat terdampak dan masyarakat adat, diperlukan kelembagaan khusus, dan penataan pertanahan (land governance) termasuk peraturan terkait. Itu untuk menunjang dan menjamin penerapan Ekonomi Hijau yang mampu menjawab krisis perubahan iklim, krisis lingkungan, dan krisis sosial. Ketiga hal tersebut bisa menjadi Karpet Merah agar Ekonomi Hijau berjalan baik di Indonesia.
Hal tersebut menjadi bahasan dan pemaparan dalam Seminar Nasional “Karpet Merah untuk Ekonomi Hijau” Rabu (20/2) di Jakarta. Hadir sebagai pembicara Mubariq Ahmad, Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+; Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Pembina Yayasan Leuser Internasional; Sipet Hermanto, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah; Martua Sirait, Dewan Kehutanan Nasional; Rifqi Assegaf, Asisten Deputi 6 Bidang Hukum UKP4; dan Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif WALHI. Sedangkan Wimar Witoelar dari Yayasan Perspekftif Baru (YPB) menjadi moderator.
Seminar Nasional tersebut digelar oleh Yayasan Perspektif Baru (YPB) dan Kemitraan (Partnership) sebagai upaya mensosialisasikan dan mendorong penerapan Ekonomi Hijau dengan melihat secara kritis pelaksanaan dan peletakan landasan program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Saat ini pemerintahan Indonesia serius menerapkan Ekonomi Hijau dengan diawali sektor kehutanan melalui program REDD+. Ekonomi Hijau yang dimaksud Indonesia di sini adalah pembangunan untuk mencapai tiga sasaran besar, yaitu ekonomi terus tumbuh dan memberikan lapangan kerja serta mengurangi kemiskinan, tanpa mengabaikan perlindungan lingkungan khususnya fungsi ekosistem dan keragaman hayati, serta mengutamakan keadilan sosial.
Keseriusan pemerintah tersebut ditunjukkan dengan melakukan upaya-upaya untuk membalikan praktik Business as Usual. Antara lain, mengeluarkan berbagai kebijaksanaan seperti Instruksi Presiden mengenai moratorium izin baru untuk pengusahaan hutan primer dan lahan gambut. Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) REDD+ untuk mempersiapkan semua hal mengenai penerapan REDD+ termasuk lembaga REDD+. Selain itu, menetapkan sebelas provinsi sebagai pelaksana program REDD+.
Menurut Mubariq Ahmad, adopsi dan implementasi REDD+ merupakan langkah yang sangat strategis bagi pemerintah Indonesia untuk menuju Ekonomi Hijau. Sebagai entry point strategis, REDD+ perlu mendapat dukungan penataan land governance sebagai basis dari semua kegiatan Ekonomi Hijau, antara lain tata guna lahan, tata batas hutan, moratorium, dan perbaikan sistem perizinan pemanfaatan lahan.
Martua Sirait mengatakan keterlibatan masyarakat adat di sekitar dan di dalam hutan menjadi salah satu kunci Ekonomi Hijau. Karena itu penguasaan hutan perlu diperjelas. Saat ini telah terjadi ketimpangan penguasaan hutan di kawasan hutan Indonesia. Hanya 0,25 juta hektar kawasan hutan yang boleh dikelola masyarakat. Sementara, 35,8 juta hektar diperuntukan bagi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusaha Hutan (HPH). “Jadi, yang harus dilakukan adalah kepastian tenurial dengan pengukuhan kawasan hutan, perluasan wilayah kelola rakyat, dan penyelesaian konflik,” kata dia.
Menurut Rifqi Assegaf, pembentukan tim atau badan atau lembaga khusus untuk menangani konflik tanah dan hutan merupakan sebuah langkah yang harus diambil pemerintah. Tim/badan khusus tersebut beranggotakan berbagai stakeholders di pemerintahan dan masyarakat. “Ini penting karena penyelesaian konflik tersebut melibatkan berbagai sektor di pemerintahan. Selain itu, penyelesaian konflik juga membutuhkan peran dan dukungan berbagai sektor, misalnya anggaran, perubahan aset, perubahan tata wilayah, dan lain-lain,” jelas dia. Landasan hukum untuk membentuk tim/badan khusus tersebut sudah ada, misalnya Ketetapan MPR No.V Tahun 2003, dan Inpres No.2/2003.
Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, Indonesia perlu menindak-lanjuti rintisan, melakukan inovasi, serta memperlihatkan teladan untuk melekatkan nilai-nilai ekonomi yang sepantasnya bagi sumberdaya alam kita utamanya hutan, dan perlu memastikan terjadinya
sebaran manfaat serta kegiatan ekonomi secara lebih adil dan inklusif, sekaligus menjadikan “Ekonomi Hijau” menjadi karakter ekonomi Indonesia sesuai dengan karakter sumber daya alamnya.
—oo000oo—
Yayasan Perspektif Baru (YPB) adalah lembaga nonprofit dalam bidang pendidikan publik dengan mengupayakan publik mendapat informasi seimbang. Para anggotanya merupakan praktisi komunikasi dan hubungan masyarakat, bidang utama Perspektif Baru. Selain program radio Perspektif Baru, YPB menggelar berbagai seminar, diskusi, dan pelatihan wartawan mengenai isu publik. YPB juga menyediakan bantuan teknis pada beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan aktivis masyarakat berupa pendidikan dan ketampilan dalam bidang komunikasi. www.perspektifbaru.com
Kemitraan adalah adalah sebuah organisasi multi-pihak yang bekerja dengan badan-badan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil (CSO) untuk memajukan reformasi di tingkat nasional dan local. Kemitraan membangun hubungan penting antara semua tingkat pemerintahan dan masyarakat sipil untuk meningkatkan tata pemerintahan yang baik di Indonesia secara berkelanjutan. www.kemitraan.or.id