Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan No. 35 tahun 2011 tentang Larangan Ekspor Rotan Mentah pada akhir tahun 2011 potensi produksi rotan di Indonesia merosot hingga 30% dari tahun sebelumnya. Potensi produksi rotan mentah Indonesia yang berkelanjutan (sustainable) hingga 10 tahun ke depan sebesar 600.000 ton per tahun dengan daya serap industri kerajinan dan meubel rotan yang tidak beranjak dari 13%, sementara itu daya serap rotan mentah di pasar internasional masih cukup stabil yaitu sebesar rata-rata 300.000 ton per tahun.
Kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki tata niaga rotan dan mendorong daya serap industri kerajinan rotan dalam negeri tersebut ternyata semakin memperburuk kondisi perotanan di Indonesia. “Kami yang mengusahakan rotan di Sulawesi dan Indonesia Timur tak lagi bersemangat. Produksi rotan mentah merosot, sementara petani yang memungut rotan masih bergantung dengan pembelian kami,” ujar Julius Hoesan, Seketaris APRI (Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia), di Makassar (26/07).
Pelaku Rotan Berteriak
Walau Pemerintah berkomitment untuk melakukan evaluasi setiap semester tentang berlakunya Permendag No.35 tahun 2011 tersebut, hingga saat ini tidak ada pernyataan resmi tentang perkembangan dari pembentukan Badan Penyanggah Rotan yang direncanakan sebagai badan pemerintah yang berfungsi menampung hasil-hasil rotan mentah sebagai antisipasi tidak terserapnya rotan mentah oleh industri kerajinan dan meubel rotan di Indonesia pasca diberlakukannya larangan ekspor rotan mentah.
“Beberapa anggota kami minggu lalu sudah memasukkan gugatan atas berlakunya Permendag No.35 tahun 2011 ke Mahkamah Agung. Pemerintah harusnya tahu, 50 persen lebih pengolahan rotan di tingkat pengumpul dan pedagang besar merosot, sementara pasokan rotan untuk industri kerajinan dan mebel rotan nasional menemui ketidak kepastian. Tidak hanya pemungut rotan yang berteriak, kami pengusaha di hulu juga berteriak,” imbuh Julius Hoesan.
Kondisi yang nyinyir tersebut seharusnya menjadi perhatian serius Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Janji untuk mengevaluasi berlakunya Permendag No.35 tahun 2011 perlu segera dilakukan. Karena hal ini tidak hanya menyangkut pelaku pengolahan rotan di hulu, tetapi juga pelaku dan pengusaha rotan di hilir (pengrajin kecil-menengah atau UKM).
“UKM atau pengrajin rotan kecil-menengah juga kena dampaknya dari kebijakan tambal sulam itu (baca: Permendag No.35/2011-red). Penyediaan mebel kayu dan rotan untuk sekolah dari dulu sudah diambil alih Kementerian Perindustrian melalui proyek. Dengan tujuan meningkatkan industri mebel rotan dalam negeri juga kebijakan itu tidak benar. UKM kerajinan rotan malah menjerit sekeras-kerasnya saat sekarang ini,” jelas Julius Hoesan tentang dampak penerapan Permendag No.35/2011 bagi pelaku rotan di hilir.
Segera Cabut Larangan Ekspor
Kelahiran Permendag No.35 tahun 2011 seperti aturan-aturan sebelumnya, yaitu hanya berlaku sementara. Kelebihan pasok bahan baku rotan untuk industri dalam negeri adalah fenomena biasa ketika larangan ekspor rotan mentah diberlakukan. Kondisi kelebihan pasok ini seharusnya menjadi pertimbangan mendasar Pemerintah saat memberlakukan larangan ekspor. Percepatan daya serap industri rotan dan meubel dalam negeri tidak bisa mengimbangi produksi bahan baku rotan.
“Gugatan kami yang diajukan ke MA itu agar Pemerintah segera mencabut larangan ekspor. Puluhan tahun Pemerintah tidak pernah belajar dengan benar mengatur tata produksi dan tata niaga rotan. Petani, pengrajin dan pengusaha jadi bulan-bulanan kebijakan buka tutup ekspor rotan,” sesal Julius Hoesan tentang Pemerintah yang tidak pernah belajar dari perjalanan perubahan kebijakan rotan yang tidak pernah mendongkrak pendapatan negara dari sektor non migas ini.
Suara para pelaku rotan baik yang secara eksplisit maupun implisit di sektor non migas ini memiliki tujuan yang sama yaitu segera cabut larangan ekspor. Dan tentu saja tidak saja dengan sekadar mencabutnya tetapi lebih berarti lagi jika Pemerintah mengeluarkan kebijakan perotanan yang tidak merugikan pelaku rotan di hulu dan di hilir. Karena Indonesia masih dikenal sebagai daratan yang berhutan dengan potensi produksi rotan satu-satunya tertinggi di dunia. Larangan ekspor ini jika tidak segera dievaluasi akan mematikan potensi rotan Indonesia. (tjong)