Indonesia sangat dikenal sebagai pengekspor rotan. Keterkenalan ini hanya berhenti sebagai pengekspor rotan mentah (raw material) ke China, Jerman, Jepang dan negara-negara tempat pemrosesan rotan hingga lebih lanjut menjadi barang jadi. Barang jadi itu nantinya tidak menutup kemungkinan dapat kembali ke Indonesia dengan harga yang berkali lipat.
Kondisi ini terkait dengan tidak adanya upaya yang serius dari Pemerintah memfasilitasi pengembangan sektor rotan di level pemrosesan hingga menjadi mebel, kerajinan dan lain-lainnya. Padahal dari sisi anggaran, Pemerintah hampir setiap tahun mengeluarkan dana untuk pembinaan para kelompok pengrajin rotan dengan cara memberikan pelatihan, promosi lewat pameran, dan bantuan mesin-mesin pengolah rotan.
Di bawah kewenangan tiga kementerian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Industri, sektor rotan saat ini tidak mengalami peningkatan berarti. Kementerian kehutanan yang memasukkan rotan sebagai hasil hutan dan kayu masih memperketat pemungutannya seperti layaknya pemungutan hasil hutan kayu (IUPHHK-Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan dan Kayu), sementara ada beberapa tempat merupakan hasil budidaya masyarakat juga diatur ketat dengan IUPHHR (bahkan di Kalimantan Timur, selain kena ijin pemungutan hasil hutan, juga terkena biaya ijin dari dinas pertanian).
Begitu pun Kementerian Perdagangan tidak berupaya mengkaji secara berkesinambungan tentang titik-titik perdagangan nasional dan internasional. Kebijakan ekspor dengan ada pembatasan kuota hanya menuai polemik di tingkat pengusaha eksportir bahan mentah dengan pengusaha mebel, yang saat ini menjadi pantauan Komisi Persaingan Usaha. Sementara tugas menyambungkan tataniaga rotan dengan jalur distribusi melalui dermaga-dermaga dagang demi efektifitas dan kelancaran tidak menjadi perhatiannya.
Dan apalagi dengan perhatian Kementerian Perindustrian terhadap sektor rotan sangat mengenaskan. Kementerian Perindustrian yang seharusnya memfasilitasi peningkatan produk dan pemrosesan rotan hingga mampu bersaing dengan produk barang jadi rotan di pasar internasional tidak pernah terjadi. Sektor manufaktur rotan dilalaikan sehingga pengrajin dan pengusaha industri mebel kelas menengah berjalan sesuai kreatifitas tanpa dukungan biaya promosi dan kredit (pinjaman modal keuangan) untuk pengembangan usaha.
Pendapatan negara dari peningkatan industri manufaktur rotan tidak pernah teridentifikasi dan dilaporkan secara jelas dan baik. BPS (Badan Pusat Statistik) dalam puluhan tahun tidak pernah mencatat secara spesifik sektor manufaktur rotan dan rotan secara signifikan. Bahkan peningkatan ekonomi dari sektor rotan lalai dari pengamatan ekonom pembangunan dari tahun ke tahun.
Padahal kalau mau diamati dengan cermat sektor rotan sejalan dengan sektor kayu dan industrinya yang hingga akhir 1990-an masih menjadi penyumbang terbesar pendapatan negara dari sektor non migas. FAO pada 2001 menyebutkan rotan Indonesia sebagai pemasok 80-90 persen rotan dunia.
Indikasi Penyimpangan
Munculnya inisiatif sertifikasi atau labelisasi hijau dan legal bagi produk hasil hutan seperti kayu salah satu tujuannya untuk transparansi perdagangan dan membangun kepercayaan pasar yang adil dan berkelanjutan. Dan ini sekaligus meminimalisir penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran dari proses-proses produksi dan distribusi produk.
Sejak pasar mensyarakatkan transparansi, sertifikasi dan legalitas produk hasil hutan dengan serta merta penguakkan atas penyimpangan-penyimpangan dari pelaksanaan kehutanan dan produk-produk hasil hutan mulai mudah ditelusuri yang sedari dulu relatif tidak tersentuh. Sektor kehutanan adalah rimba raya yang penuh dengan penyimpangan dan pelanggaran.
Dan menjadi kabar baik saat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mulai menyingkap kasus-kasus korupsi di sektor kehutanan beberapa waktu lalu. Istilah ‘main kayu’ yang identik dengan penyimpangan ijin, pengeluaran kayu ilegal ke pasar, serta transaksi pasar gelap kayu adalah bukti sektor kehutanan sarat dengan penyimpangan dan pelanggaran.
DI sektor rotan bukan tidak ada penyimpangan dan pelanggaran. Pungli (pungutan liar) dari mulai rotan keluar dari tempat pengumpulan hingga ke dermaga besar oleh aparat berwenang sudah menjadi rahasia umum antarpelaku di sektor rotan. Dan hal ini yang menjadi salah satu faktor tidak adanya peningkatan harga rotan basah di tingkat petani-pemungut rotan. Karena pengepul (tengkulak) dan pedagang menengah pemegang ijin usaha hasil hutan rotan (IUPHHR) memasukkan pungli sebagai biaya tak terduga.
Sertifikasi atau labelisasi legal untuk produk (olahan) hasil hutan rotan walau belum tentu memberikan dampak signifikan bagi peningkatan harga di tingkat petani-pemungut rotan, kemungkinan besar dapat mempermudah pelenyapan pungli di sektor rotan.
Namun semua itu bergantung dari integrasi dan integritas penentu kebijakan sektor rotan, yaitu tiga kementerian terkait sektor rotan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Artinya adakah keinginan politik dari Pemerintah memperbaiki kondisi sektor rotan di masa depan? Sementara hingga saat ini tiada gelagat positif sejalan dengan semakin susutnya pasokan ekspor rotan Indonesi ke dunia, dari 2 juta ton menjadi 300.000 ton dalam lima tahun terakhir (Kemenhut, 2006).