K.P. SHK

Nordic Idol, Antara Duanusa Idle

Penandatangan Letter of Intent antara Indonesia-Nowegia adalah cerita sukses dari Konferensi Oslo tentang Perubahan Iklim yaitu terutama memastikan pelaksanaan REDD+ di Indonesia setelah diserukannya Copenhagen Accord ke dunia, tidak ada perjanjian mengikat tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Tidak satu pun pihak yang merasa tidak bergembira saat mendengar Pemerintah Kerajaan Norwegia memberikan hibah untuk mendukung pelaksanaan REDD+ bagi Pemerintah Indonesia sebesar 1 miliar dollar Amerika. Hibah ini tidak kecil bagi upaya menghentikan konversi hutan-gambut untuk kepentingan pembangunan sektor lain yang bukan kehutanan. Dan Presiden kita terlalu mudah mengatakan ‘moratorium konversi hutan-gambut’ mulai Januari 2011.

Pernyataan moratorium tersebut telah membuat pelaku usaha kehutanan dan perkebunan tidak senang. Moratorium dianggap akan menghambat bekerjanya investasi asing dan akan menimbulkan inefisiensi di kedua sector ini. Dan hal ini yang membuat para asosiasi pengusaha sawit panic setelah setahun lalu Indonesia menjadi negara nomor satu penghasil CPO (crude palm oil) dunia.

Mari, kita lihat kembali ke belakang ketika Pemerintah mulai melaksanakan penegakan hukum dalam soal illegal logging, perubahan dan alih fungsi lahan-hutan, dan rehabilitasi lahan-hutan. Bagaimana hasil dari semua itu? Hingga sekarang, tidak ada hasil yang memuaskan.

Setelah sektor kehutanan Indonesia menurun pada 1998, deforestasi memuncak dengan angka mencapai 3,8 juta ha per tahun, dan  illegal logging dilakukan oleh industri hingga sekarang. Melalui APBN, Pemerintah membuat kebijakan baru yang di tingkat pelaksanaannya melibatkan semua sektor untuk memberantas illegal logging pada 2004. Enam tahun masa pelaksanaan pemebrantasan illegal logging, Pemerintah tidak bisa menunjukkan data akurat perusahaan-perusahaan yang melakukan praktik tersebut.

Rehabilitasi lahan-hutan merupakan program lama Pemerintah lewat Kementerian Kehutanan. Sejak tahun 1980-an, Pemerintah memiliki Dana Reboisasi yang disetorkan oleh perusahaan HPH untuk melakukan reboisasi di areal konsesinya. Hingga Era Reformasi, program ini tidak bekerja dengan baik dan gagal.

Pada 2007, Pemerintah menyatakan Dana Reboisasi masih ada dan berada di bawah kewenangan Departemen Keuangan, dan pada tahun-tahun berikutnya dana ini yang direncanakan untuk membiayai program baru kehutanan yaitu promosi dan pelaksanaan Hutan Tanaman Industri Rakyat (HTR). Pemerintah hanya berjanji dan tidak melaksanakannya dengan baik inisiatif tersebut.

Pada 2004, Pemerintah menjalankan Program Gerhan (Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan) melalui Kementerian Kehutanan. Melalui APBN, Pemerintah Pusat membawa Pemerintah Propinsi dan Kabupaten untuk melaksanakan Gerhan di areal-areal kawasan hutan yang kritis.

Audit Kehutanan

Ketika pergantian pemerintahan terjadi, dari Pemerintahan Megawati Soekarno Putri ke Perintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Program Gerhan tetap berjalan dengan tanpa anggaran (minus) serta berindikasi adanya penyelewengan dan korupsi dalam pelaksanaannya oleh pejabat kehutanan daerah dan anggota dewan.

Semua pelaksanaan reforestasi dan penegakan hukum di sektor kehutanan tersebut perlu audit. Pemerintah Indonesia harus membuktikan kepada Internasional bahwa Pemerintah telah melakukan dengan baik dan progres tentang tata kehutanan yang baik di Indonesia. Dan bagaimana ini seharusnya menjadi pra kondisi dari penandatanganan LoI Indonesia-Norwegia? Dan Pemerintah Norwegia juga harus memperhatikan tentang hal ini, karena semua isi yang tertera di LoI telah dilakukan Indonesia dalam pembangunan sector kehutanan dan tidak terkait perubahan iklim saja.

LoI Indonesia-Norwegia saat ini menjadi topik popular dalam kancah wacana nasional dan internasionall yang membuat Pemerintah Norwegia layaknya Robin Hood untuk menyelamatkan hutan Indonesia. Tetapi tidak untuk Pemerintah Indonesia, publik tidak percaya Pemerintah serius melaksanakan reforestasi kembali.

Leave a Reply

Lihat post lainnya