NOL PEMANASAN BUMI, RAWA GAMBUT UNTUK KEHIDUPAN
Festival Orang Rawa-Gambut se-Indonesia
Mendorong Ekonomi Berbasis Ekologi untuk Kelangsung Hidup Orang Rawa-Gambut
KpSHK. Bogor, April 2009.
Indonesia ditengarai sebagai negara yang memiliki lahan rawa-gambut tropis terluas di dunia, 38 juta hektar (Departemen Kehutanan, 1997). Prestise ini sekaligus menjadi bumerang, sebelum (UNFCCC-COP 13) United Nations Framework on Climate Change Conferences di Bali dua tahun lalu (Desember 2007), Wetland Internasional mengeluarkan pernyataan risetnya, Indonesia termasuk emitor karbon ketiga terbesar setelah Amerika dan China dari kebakaran rawa-gambut dalam setiap tahunnya.
Kondisi tersebut bisa menjadi keniscayaan di lapangan, setelah melihat beberapa perkembangan terakhir berkurangnya luasan kawasan rawa-gambut di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Ditengarai luas kawasan rawa-gambut (forestswamp) Indonesia kini masih berkisar 26 jutaan hektar. Di Sumatera, kawasan rawa-gambut pada 10 tahun silam masih seluas 7,2 juta hektar, kini berkurang menjadi 6 jutaan hektar. Sekali pun hingga saat ini belum satu pihak pun bisa memastikan luas kawasan rawa-gambut yang yang berada di beberapa kawasan bioregion (kepulauan) di Indonesia.
Berkurangnya luas kawasan rawa-gambut di Sumatera, sejalan dengan 20% emisi karbon yang dilepas dari proses deforestasi dan degradasi kawasan hutan akibat alih fungsi dan pemanfaatan lain dari kawasan hutan (termasuk kawasan rawa-gambut) di Indonesia (WWF, 2008).
Kawasan Kelola Rakyat (lindung dan produksi) yang berada di dalam dan sekitar kawasan konservasi hutan se-Sumatera mencapai 40% dari total areal kawasan hutan Sumatera (Registrasi Kawasan Kelola Rakyat-KpSHK, 2005). Hampir 20 juta orang dalam kelompok-kelompok besar (masyarakat lokal dan adat) hidup di Kawasan Kelola Rakyat. Dan selama ini, kelompok-kelompok masyarakat ini yang disebut sebagai biang kerusakan hutan dan lingkungan. Padahal, secara turun-temurun masyarakat yang sering disebut perambah, pelaku kebakaran lahan dan hutan ini adalah masyarakat lokal (adat) yang memiliki kearifan lokal (pengetahuan dan budaya) dalam memelihara sumber-sumber penghidupannya (livelihood).
Goldman dalam Privatizing Nature (1998) menyebutkan, “komunitas tidak perlu menjadi kelompok ekologis, karena mereka sudah sangat tergantung dengan alamnya. Komunitas dengan sendirinya akan memilihara secara lestari sumber daya alamnya demi keberlangsung hidup mereka”. Sejalan dengan pernyataan Goldman, Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) sudah berlangsung lama di masyarakat lokal (adat). Dalam berbagai bentuk atau model pengelolaan, SHK membawa nilai-nilai (norma) sosial dan lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan. Nilai-nilai SHK tersebut adalah kebersamaan, kemandirian, kelestarian dan keberlanjutan.
Studi SHK untuk Keadilan Iklim
Sebutan Indonesia sebagai emitor karbon ketiga dunia dari kebakaran hutan dan lahan (kawasan rawa-gambut) seperti yang “dituduhkan” Wetland Internasional sedikitnya telah mempengaruhi publik nasional dan internasional. Sehingga beberapa kesepakatan Internasional tentang Perubahan Iklim (REDD-Reducing Emission from Deforestation and Degradation) dan Pembangunan Bersih (CDM-Clean Develompment Mechanism) bagi negara-negara sedang berkembang semisal Indonesia, telah pula menyebabkan kawasan rawa-gambut menjadi orientasi dari implementasi dari kedua pendekatan internasional tersebut (mitigasi dan adaptasi perubahan iklim).
Selain itu, kawasan rawa-gambut sering kali dianggap sebagai kawasan tanpa aktivitas kehidupan manusia. Bahkan dalam beberapa peraturan pemerintah kawasan rawa-gambut dimasukkan ke dalam kawasan konservasi hutan. Padahal dalam kesehariannya masyarakat lokal (adat), di kawasan rawa-gambut sepanjang Pulau Sumatera, mengusahakan kawasan rawa-gambut sebagai tempat pengembalaan ternak (kerbau), pemijahan (pembibitan dan pembesaran) ikan air tawar, untuk padi rawa, kebun kelapa, lahan sayuran-hortikultura dan sumber pencarian bahan kerajinan tikar ruput dan alang-alang serta tembikar.
Hampir dari seluruh aktivitas penghidupan masyarakat lokal (adat) di kawasan rawa-gambut tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Bahkan ada beberapa pengetahuan masyarakat berguna bagi perlindungan dan pelestarian lingkungan semisal Smong di Semelue-Aceh.
Studi SHK untuk Keadilan Iklim dengan judul “Reinventarisasi Model Pengelolaan Rawa-Gambut Berbasis Komunitas di Pesisir Sumatera”, yang dilakukan dalam rentang waktu 3 bulan (Oktober-Desember 2008) atas dukungan CSF (Civil Society Forum for Climate Justice) di 4 wilayah Jambi, Palembang, Sumatera Barat dan Riau ditemukan beberapa hal umum sebagai berikut:
- Masyarakat lokal (adat) di sekitar dan di dalam hutan rawa-gambut sudah mulai menyadari terjadinya perubahan musim tanam, krisis pengairan, menurunnya bahan kerajinan dan berkurangnya produksi perikanan dan pertanian rawa-gambut.
- Terganggunya ekonomi masyarakat lokal (adat) dari pemanfaatan hutan rawa-gambut sebagai sumber-sumber ekonomi alternatif dari non-timber forest product (hasil hutan bukan kayu) akibat rusak dan berkurangnya areal kelola lahan rawa-gambut berbasis komunitas oleh pembangunan perkebunan besar sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Padahal sebelumnya masyarakat lokal (adat) sangat mengandalkan ekonomi keluarga mereka dari hasil pemanfaatan hutan rawa-gambut yang bukan kayu.
- Terjadi perubahan alih fungsi lahan dari kawasan penyangga (buffer zone) dari kawasan konservasi hutan rawa-gambut untuk perluasan hutan tanaman industri dan perkebunan besar sawit. Sehingga pelepasan (emisi) karbon dari kawasan konservasi hutan rawa-gambut akan cenderung meningkat.
Secara khusus, temuan dari Studi SHK untuk Keadilan Iklim tersebut adalah sebagai berikut:
Di komunitas adat Anak Nagari Amping Parak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, sejak komunitas adat mengenal perkebunan sawit di 300 ha lahan rawa-gambut (bekas areal transmigrasi perkebunan sawit), komunitas adat sudah tidak melakukan tradisi panen raya dari hasil bertani sawah dan ladang dalam 10 tahun terakhir. Pengairan sawah-sawah di wilayah tersebut terganggu oleh alih fungsi hutan rawa-gambut menjadi areal kebun sawit.
Komunitas adat Melayu Riding, yang berada dalam wilayah administrasi 12 desa di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, masyarakat sudah tidak lagi melakukan tradisi sonor (menaman padi di rawa-gambut) dalam 5 tahun terakhir, akibat masuk dan beroperasinya beberapa perusahaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri di wilayah OKI. Prediksi pasang-surut air di lahan (rawa-gambut) dalam pengetahuan setempat berubah, bahkan nyaris tidak dapat diprediksi sama sekali dalam 3 tahun terakhir ini. Selain itu komunitas adat ini juga memiliki tradisi berladang (berkebun) karet yang diperoleh dari interaksi dengan komunitas luar (Lampung) melalui perdagangan hasil kerajinan tikar purun (purun, jenis rumput rawa-gambut).
Komunitas adat Air Angat, Kerinci, Jambi, terjadi perubahan cara bertani sawah. Dalam 30 tahun terakhir ini, komunitas adat yang sebagian besar lahan produksinya di areal lahan basah atau rawa, pertanian sawah mereka yang dulu subsisten menjadi modern (intensifikasi, dengan penggunaan pupuk dan traktor mini sebagai pengganti tenaga kerbau). Perubahan ini menyebabkan Kenduri Pusako, Pesta Danau, dan Turun Sawah lebih cepat dilaksanakan, yang dulu tradisi-tradisi tersebut hanya dilaksanakan dalam hitungan puluhan tahun menjadi hampir setiap tahun. Selain itu, areal rawa masyarakat Air Angat yang menjadi tempat tumbuhnya rumput rawa sebagai bahan dasar kerajinan tikar terancam oleh pembangunan daerah yang akan menjadikan areal produksi masyarakat tersebut menjadi kawasan perkantoran dan pasar.
Komunitas adat Batanghari, Muara Jambi, Jambi, berladang dan berkebun buah (duku dan durian), bertani padi rawa-gambut menjadi tradisi pertanian yang jarang dilakukan oleh setiap penduduk. Areal ladang dan kebun mereka, sebagian besar sudah dikonversi menjadi kebun sawit mandiri, perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Akibatnya, tradisi panen raya hampir sama sekali tidak dilakukan. Temuan lainnya, di kawasan penyangga Taman Nasional Berbak (Ramsar) sudah dibuka untuk areal perkebunan besar kelapa sawit oleh pemerintah daerah setempat.
Kominutas adat Melayu Semenanjung Kampar, Riau, pertanian sagu dan perikanan darat (perikanan sungai) mulai tergusur oleh perluasan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Komunitas adat ini sudah tidak melakukan tradisi panen ikan sungai dan panen raya dalam 10 tahun terakhir, karena sebagian besar masyarakatnya sudah beralih dari tradisi bertani dan berladang menjadi pekebun mandiri sawit dan memburuh di hutan tanaman industri. Padahal pemenuhan kebutuhan pangan (ikan, padi dan sagu) di Kota Pekan Baru dipenuhi dari wilayah-wilayah pertanian masyarakat adat di Semenanjung Kampar.
Sumber : KpSHK. Festival Orang Rawa-Gambut Seindonesia. April 2009.