K.P. SHK

Nol Lahan Hortikultura di Rawa Gambut

Undang-Undang Hortikultura (UUH) disahkan DPR beberapa waktu lalu. Pengesahan UUH tersebut cacat, beberapa kementerian teknis tidak dilibatkan, yaitu Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup. DPR telah memfasilitasi hanya Kementerian Pertanian yang pengembangan masa datangnya ke subsektor perkebunan (monokulturisme).

Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lahan serta peruntukan lahan hutan sedari dulu menjadi problematika utama di Indonesia. Walau selalu didengungkan kawasan hutan yang berhutan tinggal separuhnya (KpSHK memperkirakan hanya kawasan hutan fungsi konservasi dan fungsi lindung yang saat ini masih berhutan, sekitar 72 juta ha sisa hutan Indonesia), baik oleh Kementerian Kehutanan maupun oleh Kementerian Lingkungan Hidup, sektor lainnya seolah tutup mata untuk bersama-sama berupaya melakukan perbaikan dan penyelamatan hutan (ekosistem) Indonesia.

Trend tutup mata ini sudah dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Alih fungsi lahan hutan untuk pertanian sudah tidak memperhatikan kepentingan sosial dan lingkungan. Pada 2008, Kementerian Kehutanan (Direktorat Jenderal Planologi) akan segera mengambil alih kembali kawasan hutan yang dikonversi untuk lahan pertanian. Sekitar 5,4 juta hektar selama rentang 5 tahun hingga 2008, ada penelantaran hutan konversi pertanian (Ditjend Planologi, 2008).

Mari kita hitung! Pembukaan hutan untuk Program Sawit Perbatasan seluas 1,8 juta ha yang diprotes oleh banyak kalangan dari kelompok masyarakat sipil, kini tak jelas seberapa besar yang sudah ditanam tanaman sawit. Di Kalimantan Timur, cadangan penanaman tanaman sawit untuk 300.000 ha yang ditanam setelah pembersihan lahan (baca: pengambilan kayu), terbukti hanya 300 ha yang ditanami sawit, sisanya terlantar (Kompas, 2006).

Alih-alih belakangan, demi alasan pemanfaatan lahan terlantar Kementerian Pertanian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.14 tahun 2009 tentang Budidaya Kelapa Sawit di Rawa Gambut. Sejak ada komitmen Pemerintah Indonesia untuk penurunan emisi GRK (gas rumah kaca) 26%-41% hingga 2020 dari pembakaran lahan gambut karena alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan perkebunan sawit, peraturan ini ‘dihentikan sementara’ pelaksanaannya. Padahal sejak 2009, total pembukaan rawa gambut sudah mencapai 7 juta ha (dari berbagai sumber, 3 juta ha di Sumatera, 4 juta ha di Kalimantan).

UUH yang baru disahkan tersebut tak ayal mengincar kawasan hutan rawa gambut fungsi konservasi dan lindung yang selama ini menjadi habitat satwa langka dan dilindungi, sumber keanekaragaman hayati dan sumber penghidupan ekonomi orang rawa gambut. Karena di dalam UUH, pendefinisian Tanaman Hortikultura adalah tanaman yang bisa hidup dan tumbuh berkembang di semua jenis tanah dan lahan di seluruh daratan Indonesia.

Definisi Hortikultura dalam UUH mengabaikan kepentingan pembanguan berkelanjutan dimana pembangunan dunia saat ini harus mengacu kepada keseimbangan antara kepentingan ekonomi-sosial-lingkungan (baca: keseimbangan-keberlanjutan). Dan dalam sejarah pertanian Indonesia, masyarakat pertanian Indonesia bukan masyarakat pertanian hortikultura. Budidaya hortikultura adalah pertanian selingan (secondary agriculture).

KpSHK sebagai organisasi yang mendukung demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan pengetahuan dan pengalaman masyarakat pinggir hutan dengan sistem hutan kerakyatan menyatakan protes keras atas lahirnya UUH. Beberapa alasan protes:

  1. Undang-Undang Hortikultura akan mengambil alih pemanfaatan kawasan-kawasan hutan rawa gambut dari fungsi konservasi dan lindung untuk pengembangan pertanian komersial yang abai terhadap kepentingan sosial dan lingkungan hidup, yaitu keberlanjutan kehidupan dan kelestarian lingkungan.
  2. Undang-Undang Hortikultura akan menjadi jalan pelanggegangan sistem perkebunan yang abai terhadap keadilan sosial sedari diperkenalkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda hingga Pembangunan Pertanian Swasembada Pangan di Orde Baru.
  3. Undang-Undang Hortikultura, adalah kebijakan pertanian yang sembrono yang telah melalaikan keterlibatan kementerian teknis yang sangat berwenang dalam penentuan pelaksanaan pembangunan Indonesia di sektor kehutanan dan lingkungan hidup.
  4. Undang-Undang Hortikultura mengandung penyesatan dalam pendefinisian Hortikultura yang dapat hidup dan tumbuh di seluruh daratan Indonesia tanpa mempertimbangkan kekhasan tumbuhan dan satwa di setiap kawasan beradasarkan ekosistem alamiahnya.
  5. Undang-Undang Hortikultura tidak mempertimbangkan penyelamatan ekosistem rawa gambut (daratan) yang berfungsi untuk pencegahan perubahan iklim.

Info lebih lanjut hubungi di Sekretariat KpSHK (Aftrinal Lubis dan Mohammad Djauhari) di telp/fax: 0251 8380301, e-mail: kpshk@kpshk.org.

3 thoughts on “Nol Lahan Hortikultura di Rawa Gambut

  1. Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai pertanian indonesia.Benar benar sangat bermamfaat dalam menambah wawasan kita menjadi mengetahui lebih jauh mengenai indonesia.Saya juga mempunyai artikel yang sejenis mengenai indonesia yang bisa anda kunjungi di sini

Leave a Reply

Lihat post lainnya