K.P. SHK

Nelayan Sungai, Danau dan Rawa Sendirian Menghadapi Iklim Ekstrim

Peluncuran dan Bedah Buku “Nelayan & Ketidakpastian Iklim” bersama DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) dan Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF, Civil Society for Cilmate Justice) di Gedung Kementerian BUMN, Ruang Rapat Utama DNPI, Jakarta, 01 November 2011.

P.Raja Siregar, salah satu tim penulis yang menjelaskan soal informasi prakiraan cuaca untuk nelayan dan informasi lokasi potensi ikan. Riset aksi diantaranya pada nelayan Muara Angke, Pelabuhan Ratu, Krui (Lampung Barat), Perairan Selat (Banyuwangi Timur), & Teluk Kwandang.

Pak Yayan nelayan dari Muara Angke yang hadir pada peluncuran buku ini, menceritakan informasi ini sangat bermanfaat. Walaupun dia tidak bisa membaca tulisan SMS di HP-nya,  istri dan anaknya yang membacakan pesan SMS yang ia terima karena pandangannya mulai kabur yang mungkin pengaruh air laut dan badai topan yang sering menimpanya.

Informasi yang diberikan berupa SMS harian. Contoh isi SMS nya diantaranya berupa kecepatan angin 10-20 knot. Kabarnya para nelayan ini akan “kuliah” (belajar) seperti sekolah lapang iklim, ditambah dengan melibatkan anak-anak nelayan yang sudah remaja, untuk menterjemahkan bahasa-bahasa BMKG ini ke bahasa sehari-hari mereka.

Menurut seorang penanggap Dr. Dedi Supriadi Adhuri, Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI, Coping strategy (kearifan lokal / local wisdom) yang mungkin telah dikembangkan nelayan kurang terekam di buku ini.

Bagaimana dengan Nelayan Sungai, Danau dan Rawa?

Bagaiman nasib dan ancaman perubahan iklim pada nelayan sungai, danau dan rawa? Padahal ancaman perubahan iklim pada nelayan darat ini tidak kalah ekstrim, bahkan tantangan besarnya datang dari pengusaha-pengusaha raksasa.

Ekspansi perkebunan sawit mengancam penyempitan sungai, pendangkalan danau, dan pengeringan rawa gambut oleh perkebunan-perkebunan monokultur ini.

Riau misalkan, propinsi yang memiliki hutan rawa-gambut terluas di Pulau Sumatera menjadi areal perebutan dua raksasa besar perusahaan pulp dan kertas. Nelayan Rawa mengeluh, perikanan rawa sebagai sumber penghasilan sekaligus sumber pangan masyarakat setempat  kini kering dan mudah terbakar.

Nelayan miskin di laut

Ironis di negara agraris petaninya hidup miskin. Di negara maritim nelayannya juga hidup miskin. Seorang nelayan pesisir  mengeluh, mereka sudah kerja mati-matian, tapi tetap miskin. Mereka bukan nelayan yang malas, bayangkan saat mentari terbenam mereka sudah mempersiapkan kail dan jala untuk melaut,  hampir semua pulau telah mereka singgahi, tetapi jadi nelayan tetap miskin.

Padahal Indonesia negara maritim yang kaya, dengarkan saja lagu ini “Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupmu. Tiada badai tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu”. Mungkin ini lagu sebelum ada perubahan iklim, atau sebelum kita dijajah bangsa sendiri?

Indonesia memiliki lebih dari 67.000 desa pesisir dan 41 juta jiwa lebih warga Indonesia berada di pesisir sebagai nelayan dan petani tambak. Akibat pembangunan maritim yang tidak berpihak kepada nelayan dan petani tambak, kurang lebih 10.000 desa pesisir adalah kantong-kantong kemiskinan di Indonesia. Kemiskinan ini sudah berlangsung sejak lama dan berkelanjutan. Inikah hasil pembangunan berkelanjutan?

Nelayan-nelayan tradisional, penangkapan ikan disesuaikan dengan ilmu perbintangan untuk melihat pergantian musim, tanpa mengikuti perkembangan teknologi modern. Kemiskinan pada nelayan terjadi karena tidak memiliki akses terhadap sumber daya laut dan distribusi manfaat secara adil serta tidak terpenuhinya hak-hak dasar  sebagai komunitas dan masyarakat pesisir yang bermartabat.

Buku “Nelayan & Ketidakpastian Iklim” ini sangat menarik, dan dapat dijadikan bahan ajar bagi penyuluh lapang iklim. Serta memotivasi untuk turut berkarya memberikan yang terbaik pada masyarakat. (inal)

 

Leave a Reply

Lihat post lainnya