Acara dialog “Menuju Hutan Adat untuk Penyelesaian Konflik Tenurial dan Perubahan Iklim” (10/1) yang melibatkan LSM, Pemkab, Pemkot dan masyarakat adat akan segera dimulai. Beberapa peserta dari perwakilan masyarakat adat Kerinci sudah tampak bergerombol, menduduki kursi lobby hotel, Hotel Mahkota di Sungai Penuh, Kerinci-Jambi. Kebanyakan dari mereka yang bergerombol tak lebih dari 10 orang, bercakap-cakap satu sama lain dan mereka rata-rata berusia sepuh.
Namun ada seorang yang mencuri perhatian saya, sesaat saya mendekati kerumunan orang-orang tua itu. Muchlis mencuri hati saya. Muchlis (70th), Ketua Pengelola Hutan Adat Lempur di Kabupaten Kerinci, yang juga mantan Kepala Dinas Pariwisata di sebuah kabupaten di Propinsi Sumatera Barat. Ia hadir dalam Dialog beserta para wakil masyarakat adat pengelola hutan adat dan pemerintah daerah Kerinci lainnya atas undangan penyelenggara Dialog, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kerinci bekerjasama dengan KpSHK, LTA (Lembaga Tumbuh Alami) dan Komunitas Adat Kluru.
Walau sosok Muchlis yang tak lagi muda, sisa-sisa ketegasan sikap masa mudanya masih tampak terpancar dari bergelora pernyaataan kritisnya. Di satu kesempatan dimana ia mengutarakan satu persoalaan hutan adat dan dinamika pembangunan di kampungnya, Desa Lempur dalam Dialog. Muchlis dengan tegas berucap, “Sejak ada penetapan TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat) tahun 1980-an, hutan adat kami hanya tinggal 800-an ha, yang sebelumnya menurut kami tak terhingga luasnya.”
Pernyataan Muchlis ini mungkin membuat sebagian telinga wakil Pemerintah meradang dan mungkin juga tidak. Karena pihak pengelola TNKS tidak hadir dalam pertemuan itu walau panitia sudah mengundang instansi pemerintah pusat di Kerinci itu. Sungguh sayang, pernyataan yang tendensius yang aspiratif dari masyarakat adat Lempur hanya didengar oleh pihak yang tidak berwenang atas TNKS.
Dari informasi sebelum acara Dialog dimulai, dari gerundelan peserta yang di dalamnya juga ada Muchlis, yang sedang bercakap-cakap informal di Lobby Hotel Mahkota, Hutan Adat Lempur juga hutan hak adat perintis, seperti dua hutan adat lainnya, Hutan Adat Ninik Hiang dan Hutan Adat Temedak Kluru. Ketiga hutan adat Kerinci itu dikukuhkan pada periode 1992-1994 oleh Bupati Kerinci. Namun Hutan Adat Lempur lebih menonjol dalam wacana tarik-menarik penguasaan wilayah antara Pemkab Kerinci, Pengelola TNKS (Balai TNKS), LSM dan masyarakat adat setempat.
Kemenonjolan Hutan Adat Lempur selain luasannya mencapai ratusan hektar, 800-an ha seperti halnya juga Hutan Adat Ninik Hiang, di Desa Lempur tempat dimana Hutan Adat Lempur berada sedang dalam konflik pembangunan. Saat ini ditengarai di Desa Lempur sudah ada beroperasi perusahaan gas milik swasta yang bekerjasama dengan Pemda, serta adanya pembangunan jalan antarpropinsi yang beberapa kali terhambat karena bersegitegangnya Pemkab Kerinci dengan Pengelola TNKS, serta adanya isu perdagangan karbon hutan.
Kembali ketegangan pembangunan di Desa Lempur, Kerinci dan sekitarnya tersebut terungkap dari pernyataan Muchlis yang diutarakannya dalam Dialog. “Pemda tak usah tutup mata, begitupun TNKS, pembakaran lahan dan penebangan hutan masih ada di dalam TNKS. Kami masyarakat pengelola hutan adat mendapat kompensasi apa, kami yang punya hutan dan menjaganya. Saya dengar ada LSM yang ambil manfaat juga jual hutan kami untuk karbon. Harganya triliunan rupiah.”
Isi ucapan Muchlis kali ini sepertinya tak menerpa tembok. Ada beberapa orang dari Pemkab Kerinci yang mulai gelisah. Tampak Syafnelis, Kabid Pembinaan Hutan Adat dan Konservasi Hutan yang menjadi moderator Dialog terlihat menggaruk kepala yang tak gatal, yang bersebelahan duduk dengan saya di deretan kursi pembicara. Begitupun juga Emma dari LTA (Lembaga Tumbuh Alami) mukanya memerah. Saya rasa respon motorik Syafnelis maupun Emma adalah ketidaksabaran mereka untuk mengkonfirmasi pernyataan Muchlis, walau yang di tuju pertanyaannya adalah saya, yang LSM juga.
Isu perdagangan karbon hutan menyentuh Kerinci yang letaknya cukup jauh dari Kota Propinsi Jambi, 8-10 jam perjalanan via darat dengan menggunakan angkutan umum. Pernyataan Muchlis yang bernada tanya itu, dampak dari gosip bahwa di Propinsi Jambi banyak proyek konservasi karbon hutan yang nilainya triliunan rupiah. Pada penjelasan, pengantar dialog Syafnelis menyampaikan beberapa infomasi berkenaan adanya proyek konservasi karbon TFCA* dan MMC**, entah proyek jenis apalagi dua singkatan asing ini. Yang jelas Syafnelis menyebut-nyebut, kenapa Pemkab Kerinci dan masyarakat adat yang punya hutan yang masih bagus tak terkucur dua proyek itu.
Dialog tetap sebuah wadah orang-orang, para pihak, untuk saling membenturkan kepentingannya. Yang pasti Muchlis yang mencuri hati saya sedari awal berpapasan dan hanya bertegur sapa seadanya dalam Dialog tersebut menjadi motor kegerahan para pihak atas tiga isu utama hutan adat Kerinci yaitu: 1)hutan adat Kerinci tak lagi hanya untuk perlindungan kawasan, tetapi ada keinginan terpendam masyarakat adat untuk mendapat manfaat ekonomi langsung; 2) konflik penguasaan wilayah dan hutan antar LSM, Pemkab, pengelola TNKS dan masyarakat adat masih berlanjut; 2) isu mitigasi perubahan iklim sektor hutan di kawasan TNKS dengan pendekatan konservasi karbon identik dengan dana bantuan.
Itu yang juga disampaikan Emma, Direktur LTA, kepada saya setelah acara Dialog selesai. Emma menyebutkan terjadi banyak perubahan perilaku para pihak di Kerinci. Apalagi dengan adanya pemekaran wilayah, proyek konservasi karbon di Jambi dan sekitarnya, serta pembangunan jalan antarpropinsi. “Yang dituturkan Pak Muchlis tidak salah, dan saya salut dengannya mau bicara terbuka di hadapan Pemkab. Saya sebagai konservasionis yang mendampingi pembentukan hutan adat sampai sekarang banyak melihat perubahan baik di masyarakat maupun Pemkab. Semua berubah.”
Dialog usai, belum tentu segala persoalan di Kerinci selesai. Dialog hanya menyediakan waktu bagi para pihak yang memiliki kepentingan yang sama atas sumberdaya hutan, pembangunan, sosial kemasyarakatan di Kerinci untuk saling menggelar keterpendaman dari keinginan dan rencana-rencananya. Tentu lain waktu mereka, kita akan menemukan jalan yang terbaik demi pemajuan hutan adat, pembangunan dan upaya setempat untuk perubahan iklim. Sayonara Kerinci. (tJong)
*TFCA = Tropical Forest Conservation Action atau proyek konservasi hutan di Sumatera yang didanai pengalihan utang luar negeri Indonesia, Pemenang tendernya Yayasan Kehati
**MMC = Millenium Challenge Corporation, sebuah badan di Amerika yang memberikan hibah ke LSM-LSM dan Pemerintah Indonesia untuk bisnis hijau dari sektor hutan