K.P. SHK

Moratorium Perlu Dukungan Industri Sawit

Kesepakatan Oslo tentang REDD (reducing emission from deforestation and degradation) antara Pemerintah RI dan Norwegia memperkuat keinginan semua pihak (terutama kelompok masyarakat sipil dan masyarakat adat) bagi penghentian deforestasi dan degradasi lingkungan (moratorium) sedari 30 tahun lalu. Pelaksanaan moratorium (jeda konversi) hutan dan rawa gambut untuk pemanfaatan lain seperti perkebunan sawit, hutan tanaman dan pertambangan di lahan hutan (hutan lindung atau produksi) harus segara ditaati para pemangku kepentingan tidak hanya di sektor kehutanan tetapi juga oleh semua pelaku di sektor lain seperti sektor pertanian, perkebunan dan pertambangan.

Moratorium hutan dan rawa gambut (yang akan sedang dilaksanakan, karena peraturannya belum keluar) tersebut memunculkan kekhawatiran yang berlebihan bagi pelaku usaha perkebunan. Pengusaha kelapa sawit tidak bisa melakukan ekspansi lahan yang pada tahun sebelumnya dijanjikan ada perluasan budidaya kelapa sawit di rawa gambut (Peraturan Menteri Pertanian No.14 tahun 2009) seluas 6,7 juta ha. Dan secara psiko-sosial hal ini ditunjukkan dengan adanya kelompok pengusaha kelapa sawit yang menghalang-halangi keluarnya kebijakan moratorium. Beberapa waktu lalu melalui dukungan kelompok kerja di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) memunculkan manuver politik bahwa moratorium adalah kepentingan asing.

Moratorium hutan dan rawa gambut bukan kepentingan asing, tidak seperti yang disangkakan oleh para pengusaha Gapki. Moratorium adalah kebutuhan pemulihan hutan dan sumberdaya hutan Indonesia. Sejak 1967 hutan Indonesia dieksploitasi dan eksplorasi besar-besaran demi kepentingan pembangunan (pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan negara). Penerapan perundang-undangan tentang kehutanan, pertambangan dan perkebunan (PIR-Trans) telah menyebabkan kerusakan dan kehancuran hutan dan sumberdaya hutan. Hutan Indonesia yang ada kini tinggal setengahnya dari total luas tutupan hutan (rawa gambut) 200-an juta ha pada tahun-tahun 1960-an, hal ini juga disadari oleh Pemerintah (data hutan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan angka luas hutan yang sama pada 2007, yaitu hutan Indonesia tinggal separuhnya yang baik).

Selain itu, pemenuhan kebutuhan pangan, energi dan air dari 80 juta jiwa masyarakat Indonesia yang tinggal di sekitar dan dalam hutan masih bergantung pada keberadaan hutan. Pengusahaan hutan dan sumberdaya hutan oleh masyarakat untuk penyediaan pangan (padi ladang) dan agroforestri lain, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pembangkit listrik tenaga air (mikrohidro) dari aliran hulu sungai, dan lain-lain masih dilakukan oleh masyarakat. Dan apakah ini yang disangkakan kepentingan asing oleh kelompok pengusaha kelapa sawit? Bahkan pengusahaan hutan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut makin berkurang (kuantitas dan kualitas) karena alih fungsi lahan hutan menjadi lahan perkebunan dimana para pengusaha semisal kelompok Gapki beroperasi. Alih fungsi inilah yang menyebabkan munculnya krisis lingkungan (air dan tanah yang tercemar pestisida, matinya flora-fauna hutan) dan krisis sosial (konflik lahan, kekerasan, kemiskinan dan pelanggaran HAM).

Dalam rentang waktu yang menginjak 50 tahun lebih dari pembangunan Indonesia, kondisi penyusutan dan kerusakan sumberdaya hutan tersebut tidak beranjak dari laju deforestasi tahunan seluas 1-3 juta ha per tahun. Tidak berubahnya laju deforestasi ini menandakan perubahan kebijakan sektor sumberdaya alam di Era Reformasi semisal kehutanan dan sektor yang mengandalkan konversi hutan dan lahan hutan (baca: pertanian-perkebunan) tidak memberikan dampak perbaikan biofisik hutan dan lahan hutan. Kebijakan moratorium adalah jalan perbaikan perubahan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya hutan bagi Indonesia (baca: bukan asing) dan sekaligus biofisik hutan dan sumberdaya hutan.

Kebutuhan pemulihan biofisik hutan dan sumberdaya hutan dalam konteks pertanian-perkebunan dimana dari awal-awal Reformasi hingga sekarang kerusakan hutan lebih dominan diakibatkan karena pembukaan lahan hutan untuk perkebunan sawit (WALHI, 1999), sudah saatnya para pelaku industri pertanian-perkebunan menahan diri untuk tidak memperluas areal operasinya di lahan hutan. Dukungan untuk moratorium hutan dan gambut seharusnya datang dari kelompok industri pertanian-perkebunan (khususnya industri sawit dimana sektor ini adalah sektor paling lama menjadi peringkat teratas mengambil alih lahan hutan atau konversi yaitu 75% total areal hutan konversi selama satu dekade ini).

Lambannya Satgas REDD dan Target Bank Dunia

Tidak dapat dipungkiri, menguatnya keinginan untuk pemenuhan pemulihan hutan dan sumberdaya hutan (moratorium) karena hasil Kesepakatan Oslo. Bahkan Pemerintah Indonesia berjanji kepada dunia internasional, moratorium akan dilaksanakan di awal tahun ini. Ini terbukti dengan sigapnya Pemerintah membentuk satuan tugas dibawah koordinasi Bappenas tentang penyiapan implementasi REDD (baca: Satgas REDD).

Beberapa bulan lalu Kuntoro Mangkusubroto sebagai Ketua Satgas REDD dengan nada optimis menyatakan Satgas REDD mulai bekerja menyiapkan segala kebutuhan implementasi REDD (termasuk moratorium) yang melibatkan semua sektor dan keterlibatan masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil secara cepat dan konprehensif. Penyiapan ini ditengarai harus selesai dalam waktu 1-3 bulan setelah dibentuknya Satgas REDD pada akhir tahun lalu.

Lain ucap, lain pula kenyataan tentang kerja Satgas REDD tersebut. Hingga saat ini publik menunggu-nunggu dengan harap-harap cemas tentang optimisme Satgas REDD mempercepat kerjanya. Tidak satupun pengumuman yang keluar dari Satgas REDD tentang progress kerja berkenaan dengan strategi nasional, kelembagaan, mekanisme, keuangan, penetapan propinsi contoh dan peran para pihak soal REDD. Padahal hasil kerja Satgas REDD adalah kunci penerapan dan pelaksanaan REDD (yang mendukung pelaksanaan moratorium) di Indonesia walau REDD sendiri masih menjadi perdebatan hingga kini di kelompok masyarakat sipil.

Hal lainnya yang tak kalah menarik adalah, dinamika REDD sebagai tidak lanjut pembicaraan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang harus memperhatikan hak masyarakat adat (hasil UNFCCC-Poznan). Dalam pertemuan lanjutan soal REDD dan peran Bank Dunia baru-baru ini telah menghasilkan hal penting yang patut disikapi semua pihak (terutama kelompok masyarakat adat di Indonesia). Bank Dunia akan menjadi badan yang akan menyalurkan sebagian dana investasi sektor hutannya (Forest Investment Fund) untuk pemberdayaan masyarakat adat. Bahkan masyarakat adat secara langsung dapat mengambil dana ini dari Bank Dunia.

Moratorium, implementasi REDD, pemberdayaan masyarakat adat dan semua hal di atas menjadi kesemrawutan yang tak terbantahkan di Indonesia, bisakah semuanya terjawab? Bukankah jika Satgas REDD menunjukkan performance “siap dan bisa dipercaya”, publik nasional dan internasional serta negara-negara yang menggangtungkan upaya penurunan emisinya dengan cara membantu mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan tidak ragu untuk segera memilih Indonesia sebagai target penyaluran dana-dana REDD/REDD Plus, bukan? (tJong)

Leave a Reply

Lihat post lainnya