REDD, Jalan Murah Berbelit
Persoalan mendasar kehutanan di Indonesia sangat terpaut dengan persoalan hak penguasaan dan pengelolaan, kemiskinan, deforestasi dan degradasi. Hal ini diperkuat Andiko Sutan Mancayo (HuMa) dalam Seminar Sehari tentang Kehutanan Masyarakat dan Perubahan Iklim yang diselenggarakan FKKM dan Ford Foundation di Hotel Pangrango II, Bogor (19/11).
Tangtangan ke depan Kehutanan Masyarakat (KM) dalam perubahan iklim menurut Andiko masih tidak beranjak dari persoalan tenurial, sosial dan lingkungan. Hingga kini Pemerintah belum bisa menjelaskan dan menyelesaiakan soal tata batas hutan dimana hingga saat ini masih muncul klaim masyarat atas kawasan hutan negara.
Dan ini juga berdampak kepada kewenangan dalam tiap-tiap sektor. Tanpa adanya penyelesaian tenurial, konflik antarpihak dan antarsektor akan berlangsung lama dan semakin meruncing. Sementara itu, saat ini Pemerintah mulai memproses perijinan usaha restorasi ekosistem hutan kepada 50 usaha kehutanan dalam konteks adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
REDD (reducing emission from deforestation and degradation) adalah cara murah, mudah, dan cepat dalam upaya mitigasi perubahan iklim dari sektor hutan. Terutama bagi Indonesia yang ditengarai sebagai emitor karbon ke-3 dari kebakaran lahan dan hutan gambut dalam setiap tahunnya.
Dodi S Sukardi dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang hadir sebagai narasumber dalam acara yang bertujuan berbagi informasi seputar perkembangan hutan dan perubahan iklim ini, juga menguatkan dugaan emisi karbon terbesar Indonesia dari sektor hutan dibanding sektor energi dan transportasi.
“Saat ini DNPI sedang melakukan studi tentang emisi karbon dari masing-masing sektor. Karena masih dalam studi saya belum bisa menyampaikannya. Tim DNPI akan sampaikan Senin depan,” jelas Dodi.
REDD untuk Kehutanan Masyarakat
Pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No.3 tahun 2008, terutama dalam upaya pemberdayaan masyarakat pinggir hutan saat ini, untuk HKm (Hutan Kemasyarakatan) yang targetnya harus mencapai 400.000 ha di tahun ini, ternyata setelah mengalami verifikasi dari 90.000 ha yang dalam proses pengajuan di akhir 2008, pada tahun ini hanya 30.000 ha yang bisa ditetapkan sebagai areal kerja HKm.
Hal tersebut oleh banyak pihak dan pakar yang mengamati pelaksanaan HKm salah satunya karena sulit dan panjangnya proses pengajuan dan verifikasi penetapan dari areal kerja.
“Saya tidak yakin REDD mudah diajukan masyarakat. Untuk proses pengajuan HKm saja pengaju HKm harus menempuh langkah administratif yang panjang dan waktu lama,” papar Andiko.
“REDD mengalami untaian proses panjang dalam pembicaraan perubahan iklim PBB. REDD bermula dari RED (reducing emission from deforestation) di COP 11 (Confereces of Parties). Sekarang sudah melingkup ke berbagai sektor selain sektor hutan,” tambah Dodi menjelaskan perjalanan REDD dalam pembicaraan international yang idealnya pengurangan emisi karbon Indonesia harus mencapai 47% hingga 2020.
REDD belum ada penetapan areal kerjanya. Indonesia sebagai kelompok yang tergabung dalam Negara Selatan Kaya Hutan, melalui dukungan negara-negara maju sedang menguji pelaksanaan REDD di beberapa kawasan hutan negara. Setelah tahun 2012 yang bertepatan dengan berakhirnya masa kerja Protokol Kyoto, REDD baru dapat dilaksanakan. (tJong)