Daerah Wendu, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua terlihat kontras dengan segala pembangunan yang sedang berlangsung. Daerah ini belum teraliri listrik. Hutan sagu yang ada tergusur oleh pembangunan jalan yang melingkari belakang Desa Wendu, melintasi lahan-lahan kosong milik perusahaan-perusahaan investor yang dibiarkan terbengkalai begitu saja. Program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang bertujuan mengembangkan pertanian pangan dan bahan bakar hayati secara luas di Merauke malah membuat tanah dan hutan sagu hilang. Padahal, hutan sagu adalah jiwa bagi masyarakat adat. Tempat-tempat keramat suku Malind-Anim juga banyak yang tergusur sehingga dikuatirkan akan menimbulkan konflik antarwarga yang bisa menguras waktu, tenaga, bahkan nyawa.
Bupati Merauke, pejabat pemerintah dan para investor melihat program MIFEE ini sebagai jalan keluar yang baik untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan di wilayah tertinggal seperti Merauke. MIFEE adalah gagasan yang timbul ketika terjadi gelombang krisis pangan dunia yang menyebabkan harga-harga komoditas pangan melonjak. Hal ini mendorong negara-negara yang biasanya mengimpor bahan pangan untuk meminimalkan impor dan berusaha memproduksi sendiri komoditas bahan pangan. Banyak negara maju dan perusahaan-perusahaan yang ingin berinvestasi di wilayah lain untuk pertanian pangan dan energi. Merauke pada masa pemerintahan Belanda pernah menjadi wilayah penghasil dan pemasok pangan untuk daerah Pasifik Selatan melalui proyek Padi Kumbe-Kurik. Oleh karena itu, daerah inilah yang menjadi target Pemerintah. MIFEE melibatkan perusahaan swasta (sekarang sudah ada 36 perusahaan yang berinvestasi) dan dikelola sebagai perkebunan yang berfokus pada beras, jagung, kedelai, tebu, dan sawit. Lahan yang dapat diolah mencapai 1,283 juta hektar, jumlah yang amat potensial. Selain untuk memenuhi kebutuhan nasional, MIFEE juga diharapkan dapat memproduksi pangan untuk ekspor. Rencananya, Pemerintah akan meluncurkan desain besar program MIFEE ini pada bulan Agustus ini.
Bagi masyarakat adat, nampaknya MIFEE malah lebih banyak mendatangkan kerugian. Masyarakat merasa kurang dilibatkan dalam program MIFEE. Tanah ulayat milik warga, yang menurut rancangan peraturan daerah tidak boleh diperjualbelikan, malah banyak yang ditukar dengan beberapa buah sepeda motor. Ini dimanfaatkan oleh spekulan tanah yang membeli dengan harga rendah. Masyarakat tidak tahu bahwa nilai tanah mereka akan melonjak setelah program MIFEE ini benar-benar berjalan. Kurangnya pendidikan membuat masyarakat kurang dapat memahami ketentuan-ketentuan dalam perjanjian dengan investor, menjadikannya pihak yang lemah dan dirugikan. Kurangnya pendidikan pula yang membuat masyarakat tidak diterima bekerja di perusahaan-perusahaan milik investor. Ironis memang, di kandang sendiri, masyarakatnya malah dianggap orang kelas tiga. Menurut tokoh masyarakat Merauke, JP Kamarka, masyarakat adat perlu lebih dilibatkan dalam pembangunan Merauke. Dasarnya adalah pemberdayaan masyarakat. Masyarakat perlu diberi waktu untuk berubah dan menyesuaikan diri. Jangan sampai masyarakat hanya dianggap sebagai obyek penguasaan lahan.
Ketidaksiapan masyarakat untuk berubah menjadi petani padi, dan komoditas pangan lainnya jelas terlihat. Sawah-sawah percontohan yang dibuka dan dibagikan untuk warga mengerjakannya malah tidak dikerjakan. Warga belum mau mengelola karena tidak yakin akan mampu menggarapnya dan modal yang dirasa kurang. Sedangkan menurut petani transmigran asal Brebes, Nurhadi, ia hanya mampu menanam padi sekali setahun karena pasokan air tawar tidak cukup untuk irigasi sawah.
Keluhan juga datang dari pihak perusahaan investor yang sempat mengeluhkan buruknya infrastruktur di Merauke. Jalan yang menghubungkan Onggari dengan Muara Byan masih berupa jalan tanah yang bergelombang. Sedangkan jalan dari dermaga kayu di pesisir Sanggase menuju Okaba kini hanya berupa jalan aspal selebar 40 cm. Menurut Menteri Kehutanan, Zulfikri Hasan, 11 perusahan yang mengajukan izin ke departemennya mengundurkan diri karena masalah infrastruktur ini.
Nampaknya realisasi program MIFEE akan menjadi perjalanan yang panjang. Kita masih perlu berbenah, membereskan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat adat maupun perusahaan-perusahaan investor. Akankah Merauke Integrated Food and Energy Estate menjadi sekedar impian? Kita tunggu saja karena memang pembangunan di Merauke akan berlangsung hingga tahun 2030. Semoga saja segara ditemukan jalan keluar untuk konflik kepentingan antara masyarakat adat dan para investor.