K.P. SHK

Menyelesaikan dengan Pihak Ketiga

Menggagas Kebijakan Daerah mengenai Konflik Tanah Ulayat

Oleh : Era Purnama Sari

Koordinator Divisi Pembaharuan Hukum dan Peradilan LBH Padang

Sampai hari ini setelah satu dasawarsa otonomi daerah, Sumbar tidak kunjung mempunyai kebijakan daerah tentang penyelesaian konflik tanah ulayat antara masyarakat adat dengan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksudkan adalah pihak-pihak di luar masyarakat adat baik swasta maupun pemerintah.

Kalaupun ada Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatanya, di dalamnya hanya mengatur mengenai mekanisme penyelesaian konflik masyarakat adat di nagari. Padahal secara umum konflik yang terjadi justru disebabkan oleh masuknya pihak ketiga dalam pengelolaan tanah ulayat dan sumber-sumber agraria baik di bidang perkebunan, pertambangan dan lain sebagainya.

Tidak adanya mekanisme penyelesaian konflik tersebut jelas merugikan masyarakat adat. Benar jika investasi dapat menunjang pembangunan dan pemberdayaan ekonomi daerah, akan tetapi yang terpenting harus ada perlindungan dan kepastian hak masyarakat adat dalam investasi atau hubungannya dengan pihak ketiga. Jika tidak, hal ini akan mengancam eksistensi tanah ulayat, karena masyarakat adat selalu dihadapkan dengan kekuatan modal dan kekuasaan.

Untuk itu sudah saatnya pemerintah mempunyai sebuah kerangka kerja (blue print) peyelesaian konflik-konflik tanah ulayat dengan pihak ketiga bahkan menggagas kebijakan daerah tentang penyelesaian konflik tanah ulayat dengan pihak ketiga, sehingga penyelesaian yang ditempuh tidak lagi berbasis penyelesaian kasus akan tetapi memang berangkat dari akar persoalan konflik.

Melihat Akar Persoalan Konflik

Secara umum konflik tanah ulayat yang terjadi, dipicu oleh masuknya pihak ketiga dalam pengelolaan tanah ulayat, baik sektor pengelolaan sumber-sumber agraria seperti perkebunan dan pertambangan maupun untuk kepentingan pembangunan. Pada saat pihak ketiga masuk biasanya terjadi pengalihan atau pelepasan hak dari masyarakat adat kepada negara, kemudian pemerintah menerbitkan izin-izin di atas tanah tersebut kepada perusahaan dan lain sebagainya.

Ada pemahaman yang berbeda antara pemerintah dengan masyarakat hukum adat. Pada sektor perkebunan misalnya, dalam perspektif pemerintah siliah jariah diartikan sebagai bentuk pelepasan hak. Artinya mayarakat adat melepaskan tanahnya kepada negara, negara kemudian menerbitkan izin berupa HGU untuk perusahaan. Ketika HGU habis maka tanah akan kembali ke dalam bentuk semula.

“Semula” disini tentu adalah tanah negara karena pemerintah bersandar kepada UUPA yang mengatur bahwa HGU ada di atas tanah negara. Sementara dalam perspektif masyarakat hukum adat, “semula” diartikan sebagai “tanah ulayat”. Hal ini dikerenakan siliah jariah dalam perspektif masyarakat hukum adat bukanlah pelepasan hak, sehingga ketika segala perizinan yang dibebankan di tanah tersebut habis, maka tanah akan kembali kepada Mayarakat adat. Dalam pepatah adat dikatakan “kabau pai kubangan tingga”.

Di samping itu, pengelolaan tanah ulayat dan sumber-sumber agraria oleh pihak ketiga juga sering menimbulkan masalah dalam proses pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan kesepakatan-kesepakatan yang dilahirkan seringkali tidak berpihak kepada masyarakat adat. Di samping itu, aktivitas yang dilakukan oleh pihak ketiga kadangkala tidak sesuai dengan izin ataupun kesepakatan yang telah dibuat, bahkan ada yang tidak memenuhi kesepakatan sama sekali.

Inilah yang terjadi dalam sejumlah kasus seperti kasus Maligi di Pasaman Barat, kasus Tanjung Manggopoh dan jika dirunut lebih jauh hal yang sama juga terjadi dalam kasus tambag biji besi di nagari Lolo kabupaten Solok, kasus tambang di Solok Selatan dan lain sebagainya. Penyelesaian konflik-konflik inilah yang harus dipikirkan, dengan menggagas kebijakan daerah tentang penyelesaian konflik tanah ulayat dengan pihak ketiga.

Mendorong Peraturan Gubernur tentang Penyertaan Saham dan Bagi Hasil Otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan hak, kewenangan dan kewajiban kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sebenarnya sudah direspon oleh Pemerintah Daerah dengan dilahirkannya Perda No. 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya.

Akan tetapi ruang yang diberikan oleh otonomi daerah belum berjalan secara maksimal. Perda tanah ulayatpun tidak bisa berjalan maksimal karena peraturan teknis yang diamanatkannya berupa Pergub tentang Penyertaan saham dalam pengelolaan tanah ulayat oleh investor belum diterbitkan. Padahal hal ini bisa meminimalisir terjadinya konflik tanah ulayat.

Di dalam Perda tanah ulayat, diatur mengenai pemanfaatan tanah ulayat oleh investor. Investor dapat memanfaatkan tanah ulayat berdasarkan kesepakatan masyarakat adat yang bersangkutan sebagai pemegang saham dengan prinsip bagi hasil. Artinya masyarakat adat sebagai pemegang hak ulayat tidak harus melepaskan haknya kepada pihak ketiga, akan tetapi mereka bisa menjadi pemilik saham atau dengan prinsip bagi hasil. Tentu saja patut dikhawatirkan tentang kemampuan masyarakat hukum adat dalam membuat kesepakatan-kesepakatan kersajama dengan pihak perusahaan sehingga kesepakatan-kesepakatan yang dilahirkan tidak merugikan mereka. Disinilah pemerintah seharusnya berperan.

Jika selama ini pemerintah juga menjadi pihak dalam perjanjian-perjanjian pemanfaatan tanah oleh investor maka kedepan pemerintah harusnya lebih berperan sebagai fasilitator. Artinya mata rantai pemanfaatan tanah ulayat oleh Investor yang selama ini berputar dari masyarakat adat, negara dan investor harus diputus menjadi masyarakat adat lagsung dengan investor.

Hanya saja bagaimana memperkuat posisi tawar masyarakat hukum adat, inilah yang harus dilakukan oleh negara dengan memfasilitasi dan memberikan pemberdayaan kepada masyarakat hukum adat. Untuk itu Gubernur harus segera melahirkan Peraturan Gubernur tentang penyertaan saham dan prinsip bagi hasil dalam pengelolaan tanah ulayat oleh investor sebagaimana yang diamanatkan dalam Perda No 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Sehingga kedepan dapat meminimalisir terjadinya konflik masyarakat adat dengan pihak ketiga.

Menyelesaikan Konflik yang sudah Terjadi

Peraturan Gubernur tentang prinsip bagi hasil dalam pemanfaatan tanah ulayat oleh investor mungkin bisa menjawab persoalan yang akan terjadi kedepan, namun tidak mampu menjangkau pesoalan konflik yang sudah terlanjur terjadi. Disinilah perlu gagasan melahirkan kebijakan daerah tentang penyelesaian konflik tanah ulayat dengan pihak ketiga. Kebijakan tersebut bisa berupa Peraturan Daerah yang di dalamnya mengatur mekanisme penyelesaian konflik tanah ulayat dengan pihak ketiga.

Untuk mekanismenya sendiri, bisa saja daerah membentuk semacam Komisi Daerah Penyelesaian Penyelesaian Konflik Tanah Ulayat yang sumber pendanaannya berasal dari APBD. Hal ini penting karena Perda Tanah Ulayat sendiri belum mengakomodir penyelesaian konflik masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga, sementara hal tersebut penting guna melindungi dan memberikan kepastian hak kepada masyarakat adat dalam hubungannya dengan pihak ketiga. Akan tetapi, untuk melahirkan sebuah perda tentu membutuhkan waktu, sementara konflik-konflik yang tengah terjadi menuntut respon cepat dari pemerintah daerah.

Untuk menjawab hal itu Pemerintah daerah sebaiknya membentuk tim penyelesaian konflik tanah ulayat yang berada di bawah koordinasi Gubernur atau DPRD atau setidak- setidaknya Komisi I DPRD. Tim ini harus melibatkan segala unsur baik pemerintah, akademisi, LSM maupun tokoh-tokoh masyarakat yang ditugaskan untuk melakukan kajian terhadap konflik –konflik tanah ulaya dengan pihak ketiga secara general, termasuk mengkaji seluruh perizinan yang sudah ada di atas tanah ulayat dalam hubungannya dengan pihak ketiga.

Tim ini harus melahirkan kajian guna membuat blue print tentang penyelesaian konflik dan kapan perlu melahirkan draft penyelesaian konflik tanah ulayat. Hasil kajian ini dalam jangka waktu dekat bisa digunakan untuk menyelesaian konflik-konflik yang sedang terjadi dan untuk jangka waktu panjang bisa menjadi bahan dalam menggagas Perda Penyelesaian Konflik Tanah Ulayat.

Namun untuk ini dibutuhkan komitmen dan Political Will Pemerintah dalam upaya menjaga eksistensi tanah ulayat, penyelesaian konflik serta memberikan perlindungan dan kepastian hak bagi masyarakat adat dalam hubunganya dengan pihak ketiga.

Sumber : Padang Ekspres, 17/02/2012,

http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=1581#.Tz37zWe9DUk.facebook

One thought on “Menyelesaikan dengan Pihak Ketiga

  1. Jakarta, sebelum otonomi daerah, menjadi meja satu-satunya dalam melakukan pengesahan kebijakan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam Aset Daerah.
    Namun setelah pencanangan otonomi daerah diterapkan, meja yang dulu menjadi sangat angker dan mistik bagi daerah, kini tidak lagi, karena dengan cepat, meja-meja itu seperti jamur dimusim penghujan.
    Kepala-kepala daerah kini dengan percaya diri dalam menentukan kebijakan-kebijakan daerahnya, mereka tidak diwajibkan lagi untuk melakukan ritual sesembahan yang dipersembahkan ke Jakarta.
    Tidak sedikit saat ini, Kepala daerah menjadi raja-raja kecil yang baru, dan tidak sedikit pula dari mereka mendadak menjadi kaya raya. Proses saling memperkaya diri ditingkatan pejabat-pejabat daerah, semakin mempercepat kebangkrutan negara. Istilah Si miskin semakin miskin dan Si kaya semakin kaya, telah menjadi skema yang terjadi secara berjamaah dari daerah sampai Jakarta.
    Ketika proses saling memperkaya diri pada tingkat pejabat-pejabat daerah ini semakin berlebihan, maka potensi kebangkrutan dan kehancuran disegala bidang akan semakin cepat.
    Karena sitem kontrol pusat sangat lemah dan potensi pelanggaran-pelanggaran hukum, HAM akan semakin banyak dan tidak terkendali. Peremehan terhadap aturan-aturan pusat di disain sangat lentur dan berani. Kebijakan daerah bukan lagi berdasar pada UU, namun lebih suyka pada selera Pimpinan Daerah. Banyak para Pemodal Asing yang cukup senang dalam situasi seperti ini. Karena bagi mereka, akan sangat mudah dan tidak mengeluarkan biaya banyak ketika semua perijinan bisa diselesaikan langsung ditingkat Kepala Daerah.
    Kepemimpinan Daerah saat ini sangat lemah dalam mensejahterakan rakyatnya, berbagai penyebab sudah teruji menjadi salah satu pra syarat penyebabnya, pembuktiannya adalah semakin menurunya tingkat kesadaran, pengkhianatan dan salah amanah.

Leave a Reply

Lihat post lainnya