Bukan berarti belum “moved on” bila setelah 55 tahun kita masih mempercakapkan Undang-Undang Pokok Pembaruan Agraria (UUPA 1960). Sebab, meski rezim pemerintahan Republik Indonesia telah berganti berulang kali, undang-undang ini tak kunjung dilaksanakan sejak diundangkan pada tanggal 24 September 1960. Hari lahir UUPA kemudian diperingati sebagai Hari Tani Nasional, tetapi reforma agraria yang diamanatkan undang-undang ini tak pernah kesampaian.
Pemerintahan Jokowi – JK saat ini merencanakan pelaksanaan reforma agraria. Bentuknya “bagi-bagi tanah” melalui beberapa skema. Pertama, pemberian hak pengelolaan hutan kepada masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan melalui skema Perhutanan Sosial dengan target seluas 12,7 juta hektar (minimal). Kedua, redistribusi lahan (Tanah Objek Reforma Agraria/TORA) seluas 9 juta hektar dimana 4,1 juta hektar berasal dari kawasan hutan. Rencana ini termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Berpegangan pada RPJMN ini, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PSKL KLHK) bersama organisasi masyarakat sipil, organisasi pendamping masyarakat adat, serta para pelaku sistem hutan kerakyatan telah melakukan proses padu serasi data geospasial untuk menemukan prioritas areal indikatif Perhutanan Sosial atau lazim disebut Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS).
Telah berlangsung sejumlah konsolidasi data para pihak dalam rangka pelaksanaan RPJMN tersebut. Direktorat di lingkungan KLHK bersama Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) telah memperkuat data sebaran wilayah SHK (Sistem Hutan Kerakyatan) di kawasan hutan negara, bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) telah menguatkan jumlah wilayah kelola rakyat yang telah dipetakan secara partisipatif, dan bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menguatkan data klaim wilayah adat yang telah diregistrasi terdapat sebaran lokasi wilayah yang berpotensi sebagai areal Perhutanan Sosial (HKm, HD, HTR, Hutan Hak, Hutan Rakyat, dan pola kemitraan).
Namun di tengah proses tersebut timbul pertanyaan pokok terkait bagaimana upaya/strategi mencapai target Perhutanan Sosial 12,7 juta hektar di tingkat tapak?
Secara keorganisasian KpSHK lahir sebagai organisasi jaringan masyarakat sipil atau organisasi non pemerintah yang dimandatkan untuk mendorong demokratisasi pengelolaan hutan oleh masyarakat di Indonesia maka adanya peluang perluasan pengakuan hak pengelolaan wilayah SHK oleh masyarakat melalui akses perijinan Perhutanan Sosial seperti hutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa (HD), hutan hak (adat), hutan tanaman rakyat (HTR), dan pola kemitraan adalah menjadi perhatian penting KpSHK bersama anggota dan mitra kerjanya untuk mewujudkan akses pengelolaan hutan oleh masyarakat seluas-luas untuk lima tahun ke depan. Sejalan dengan keinginan baik Pemerintah sesuai RPJMN 2015-2019 tentang bagaimana mewujudkan target perluasan Perhutanan Sosial hingga 12,7 juta ha, maka KpSHK merespon positif dengan diawali bekerjasama dengan Ditjend PSKL, BRWA dan JKPP untuk verifikasi dokumen peta dan akan ditindaklanjuti dengan verifikasi lapangan.
Verifikasi dokumen peta antar para pihak membutuhkan langkah konkret lanjutan berupa verifikasi lapangan dan penyusunan agenda-agenda perluasan kepastian hukum wilayah SHK, wilayah kelola rakyat dan wilayah adat di dalam kawasan hutan. Untuk itu KpSHK (anggota dan mitra) menawarkan peran berkontribusi terhadap kebutuhan mewujudkan kepastian hukum hak pengelolaan hutan melalui skema Perhutanan Sosial dan Hutan Hak (Adat).
Sudah tentu muatan reforma agraria yang dijanjikan dalam RPJMN 2015 – 2019 ini belum mewakili semangat UUPA 1960 secara utuh serta masih bersifat sektoral. Meski demikian, tetap perlu pengawalan agar tidak terhenti di tingkat percakapan tetapi ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret menjawab pertanyaan pokok dan perencanaan aksi di tingkat tapak. Sehingga, perluasan pengakuan hak pengelolaan wilayah SHK oleh masyarakat dan perlindungan sepenuhnya kepada para petani hutan dapat terwujud. (Syamar)