K.P. SHK

Menghalau Kiamat Rotan 2011

Rotan adalah tumbuhan atau tanaman khas wilayah yang memiliki hutan tropis. Wilayah Indonesia berupa kawasan hutan tropis ketiga terluas di dunia, tentu rotan bukan komoditas asing bagi masyarakat Indonesia (lokal atau adat) yang tinggal dan hidup dari sumberdaya hutan. Dan kini sektor rotan dianggap dalam kondisi memasuki ‘kiamat rotan’, karena semua pelaku sektor ini mulai dari pemungut hingga eksportir mengalami pailit. Dan diduga tanpa intervensi pemerintah di sektor yang menghidupi ekonomi masyarakat adat di sekitar hutan yang jumlah mencapai 75 juta orang dengan segera, kiamat rotan akan terjadi di 2011.

Sektor rotan Indonesia belum sampai menjadi sektor andalan negara dalam mendatangkan pendapatan negeri yang besar hingga saat ini. Sektor rotan menjadi sektor komoditas andalan tidak kurang dari 10 tahun masa ‘Indonesia Membangun’. Periode 1970-1980 adalah masa kejayaan sektor rotan Indonesia dimana selaras dengan kemajuan Indonesia sebagai produsen kayu glondongan dari penerapan Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Kemerosotan sektor rotan sebagai produk kehutanan bukan kayu jelas tergambar dari dampak pembangunan kehutanan yang salah kaprah. Penerapan HPH telah mendorong pengurangan jumlah hutan dan rotan alam di wilayah-wilayah yang memiliki hutan alam luas semisal Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Rotan alam berkurang karena berkurangnya tegakan pohon dari hutan-hutan alam yang terdeforestasi dan terdegradasi lahannya. Rotan adalah tanaman merambat baik dengan budidaya maupun alami ke batang-batang pohon di hutan. Deforestasi yang mencapai titik tertinggi pada 1997 yaitu 3,8 juta per tahun turut memberikan titik terendah produksi rotan Indonesia.

Penyelundupan Resmi

Dan yang membuat kecurigaan publik dan pemerhati sektor rotan, pada 2009 Indonesia masih merupakan pengekspor rotan terbesar dunia, 300.000 ton per tahun. Sementara itu di beberapa sentra produksi rotan yang melibatkan pelaku-pelaku seperti petani dan pengumpul serta pedagang kelas menengah rotan mentah dan setengah jadi menuju kepailitan semakin parah, karena alasan beberapa hal seperti kenaikan BBM yang mempengaruhi biaya pengolahan dan pengiriman, masih adanya pungutan resmi (IPHHK-Ijin Pemungutan Hasil Hutan dan Kayu) dan tidak resmi (pajak dan retribusi siluman dari oknum dinas kehutanan, perdagangan dan aparat), serta rendahnya daya serap rotan oleh industri mebel karena industri mebel di Jawa sebagian besar mebel kayu.

Mungkinkah kondisi tersebut membawa indikasi adanya penyelundupan ‘legal’ rotan Indonesia secara berkesinambungan ke luar negeri via Pulau Jawa? Mari kita jawab. Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan No.12 tahun 2005 tentang Ekspor Rotan Mentah dimana ekpor rotan tidak lagi hanya diekspor melalui perusahaan eksportir di Jawa, di daerah sentra produksi rotan, perusahaan boleh ekspor langsung ke luar negeri. Jawa yang sedari dulu sebagai jalur strategis dan ekonomis bagi ekspor rotan dilihat dari aspek kedekatan geografis dan kemudahan jalur transportasi bongkar-muat laut dengan daerah-daerah produksi rotan tidak secara otomatis ekspor rotan dari Jawa terhenti oleh pelaksanaan Permendag No.12/2005.

Fenomena ‘eksportir’ di Jawa menyuplai eksportir di luar Jawa bukan hal mustahil. Jika dilihat panen rotan budidaya yang dilakukan dalam tiga tahun sekali tidak menutup kemungkinan rotan-rotan yang sengaja digudangkan dengan jumlah besar yang datang dari sentra-sentra produksi rotan dikirimkan kembali ke daerah asalnya untuk ekspor sesuai aturan Permendag No.12/2005 (sekarang Permendag No.36/2009). Dengan demikian, produksi rotan di tingkat petani meningkat, harga rendah dan menumpuk (overstock) di gudang pengumpul.

Kondisi overstock, harga rotan di tingkat petani yang rendah dan adanya komoditas lain dari alihfungsi lahan dan hutan semisal sawit dan tambang yang berkepanjangan dan masif, memungkinkan menjadi penyebab kepailitan di sektor rotan di Indonesia. Petani enggan memanen rotan karena adanya pilihan pragmatis ekonomi semisal memburuh sawit dan tambang yang secara langsung lebih cepat mendapatkan uang. Dan akhirnya, pengumpul rotan tidak mendapat pasokan rotan petani, gudang kosong, dan biaya angkut mahal karena BBM naik.

Berhenti Politiking

Dinamika kebijakan ekspor rotan sedari 1980-an sangat dipengaruhi kepentingan para pelaku usaha rotan baik pelaku industri kerajinan dan mebel maupun eksportirnya. Para asosiasi pelaku usaha rotan berlomba-lomba bagaimana mempengaruhi perubahan kebijakan ekspor rotan yang berada di tangan pemerintah (Departemen Perdagangan dan Perindustrian). Tapi tidak berpikiran dan bertujuan untuk bagaimana kebijakan memberikan jaminan keberlanjutan usaha rotan di tingkat petani dan pengumpul rotan yang sangat membutuhkan peningkatan pengetahuan dan permodalan.

Kondisi saling mempengaruhi dari asosiasi pelaku industri rotan baik mebel, kerajinan dan eksportir terhadap kebijakan rotan tersebut (baca: politiking) sudah saatnya dihentikan. Rotan adalah komoditas rakyat dimana kebijakan rotan hanya bicara kuota ekspor dan pembatasan-pembatasan di tingkat rotan setengah jadi dan jenis tertentu yang sangat berhubungan dengan kepentingan industri mebel dan kerajinan dan eksportir, tapi tidak juga mengatur hingga tingkat petani dan pengumpul. Semisal masih adanya ijin pemungutan hasil hutan dan kayu (IPHHK) bagi rotan budidaya di daerah penghasil rotan yang ini melibatkan tiga kementerian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian.

KPPU atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus bekerja keras untuk memulihkan tata niaga rotan yang ditengarai masuk dalam monopoli usaha akibat kebijakan rotan yang ada menguntungkan segelintir pengusaha dan asosiasinya.

Kalau mau bijak mari bersama-sama kita liat, masih berlanjutkah petani, pengrajin dan pengumpul mengusahakan rotan sementara harga rotan di tingkat petani tidak meningkat (di Kutai Barat, rotan di kebun hanya seharga Rp.1000/kilogram, dan setelah diolah di tingkat pengumpul hanya seharga Rp.3.200/kilogram, dengan biaya ijin dan angkut dapat mencapai 5 juta rupiah hingga 7 juta rupiah per 200 ton), pengrajin tidak mendapat pendampingan pemerintah untuk pengembangan usahanya, dan industri besar mebel dan kerajinan serta eksportir sering masuk dalam ‘perang kebijakan ekspor’.

Leave a Reply

Lihat post lainnya