Indonesia adalah negara dengan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, baik pertanian, tambang, maupun lautan. Kekayaan rempah-rempah Indonesia telah mengundang bangsa Eropa melakukan ekspansi dan bahkan menjajah serta menjarah sumber daya alam kita. Suburnya tanah Indonesia mendorong Belanda mengembangkan perkebunan dan hutan tanaman. Potensi tambang Indonesia menyebabkan banyak negara datang untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan bawah dan permukaan tanah Indonesia. Kekayaan laut kita menjadi rebutan nelayan asing untuk mencuri ikan dari perairan kita.
Para pendiri bangsa Indonesia menyadari bahwa kekayaan alam tersebut merupakan salah satu modal dasar dalam membangun negeri. Karenanya dalam Undang-undang Dasar dibuat Pasal 33 yang dirancang menjadi dasar hukum perekonomian nasional. Dalam Ayat 2 dinyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara”. Pada Ayat 3 dinyatakan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pada Ayat 4 dinyatakan bahwa, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya kemudian, pemanfaatan sumber daya alam yang ada cenderung eksploitatif dan belum memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Pemberian konsesi hutan alam besar-besaran kepada perusahaan besar terbukti telah menimbulkan permasalahan ekologis dan sosial hingga sekarang. Pembukaan hutan alam menjadi perkebunan sawit juga telah menimbulkan perubahan peruntukan lahan yang menggeser komoditi lainnya, seperti kelapa, karet, dan bahkan teh yang telah lama diusahakan. Data menunjukan antara tahun 1970-1990, hutan Indonesia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan HPH, disusul awal tahun 1990-an, hutan tanaman industri (HTI) mulai memperluas lahan di hutan Indonesia. (Tacconi et al., 2019).
Dari tahun 1980 hingga 2018, industri kelapa sawit berkembang pesat dari 294,6 ribu hektar menjadi 14,3 juta hektar (Ditjenbun, 2019). Selanjutnya, komisi pemberantasan korupsi (KPK) pada tahun 2016, melaporkan tumpang tindih izin areal penggunaan lainnya (APL) untuk perkebunan kelapa sawit (HGU) dengan jenis izin pemanfaatan hutan lainnya. Tumpang tindih izin APL perkebunan kelapa sawit adalah 534.000 hektar dengan izin usaha pemungutan hasil hutan kayu (IUPHHK) dan hutan tanaman industri (HTI). Sekitar 349.000 hektar tumpang tindih dengan izin usaha IUPHHK hutan alam (HA), dan 801.000 ribu hektar HGU masuk ke dalam lahan kubah gambut (KPK, 2016).
Penguasaan dan pemanfaatan lahan yang timpang ini kemudian berimplikasi juga pada kondisi ketahanan pangan nasional. Data FAO menyebutkan Indonesia mengalami defisit kecukupan lahan pangan dan dikategorikan sebagai salah satu wilayah lahan pangan per kapita terendah di dunia yaitu 0,23 ha/per kapita (2018); Kondisi ini terus menurun dalam 50 tahun terakhir (GCDL, 2021). Ketahanan pangan Indonesia juga terganggu karena kemudian ketergantungan yang sangat tinggi pada beras dan mulai meninggalkan keberagaman pangan-pangan lokal.
Dalam menyikapi permasalahan tersebut, Direktorat Kajian Strategis dan Reputasi Akademik berkolaborasi dengan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) dan Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) dan para praktisi lembaga swadaya masyarakat berinisiatif menyelenggarakan focus group discussion dengan tema “Mendorong Terwujudnya Pemanfaatan Sumber Daya Alam yang Berkeadilan, Berkedaulatan dan Berkelanjutan” untuk merumuskan secara integratif dan komprehensif solusi dan rekomendasi pemanfaatan SDA yang adil, berdaulat dan berkelanjutan. Focus group discussion ini bagian dari rangkaian upaya IPB University dan praktisi Lembaga Swadaya Masyarakat dalam mengusulkan White Paper Tata Kelola Sumber Daya Alam di Indonesia.
Kegiatan FGD mempertemukan para ahli dari ragam disiplin ilmu yang berbeda untuk mendiskusikan rumusan permasalahan yang telah diuraikan, dengan menghadirkan beberapa pemantik diskusi dengan pokok pembahasan berupa sharing pengalaman dan/atau pengamatan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang berkeadilan, berkedaulatan dan berkelanjutan (pertanian/perkebunan/kehutanan); identifikasi gap/kesenjangan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang berkeadilan, berkedaulatan dan berkelanjutan (pertanian/perkebunan/kehutanan), termasuk kebijakannya; dan sharing ide/gagasan dalam mendorong terwujudnya pemanfaatan sumber daya alam yang berkeadilan, berkedaulatan dan berkelanjutan.
Penulis: KPSHK