K.P. SHK

Membangkitkan Kejayaan “Koerintji Cinnamon”

Kayu manis merupakan salah satu rempah asli Indonesia yang memiliki pesona di pasar global, karena sebagian besar kebutuhan kayu manis dunia dipasok dari Indonesia, terutama Kerinci. Kayu manis dari Kerinci populer karena kandungan volatil yang tinggi. Kabupaten Kerinci yang terletak 3.805 mdpl adalah kawasan penghasil pertanian dan perhutanan. Tanah yang subur adalah anugerah dari tingginya kandungan belerang dari Gunung Kerinci, gunung berapi tertinggi di Indonesia. Tak heran jika kopi dan kayu manis berlimpah di Kerinci.

Kayu manis, sebagai rempah dan produk tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK / NTFP) secara administratif berada dalam naungan kebijakan Kementerian Kehutanan. Indonesia yang memiliki kawasan hutan seluas 120,6 juta hektar seharusnya dapat menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat yang berdiam di sekitarnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. P38 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial memungkinkan petani kayu manis menjadi bagian dari sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan oleh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial. Usaha tani yang dilakukan di unit wilayah Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) melalui skema Perhutanan Sosial, menjadikan hutan tak hanya memiliki makna ekologis, tetapi juga sosial, budaya dan ekonomi.

Di Kabupaten Kerinci, ijin perhutanan sosial berada dalam tanggung jawab Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kerinci. KPHP Kerinci mendorong agar kelompok tani yang memiliki ijin perhutanan sosial memiliki rencana kerja dan rencana hasil pemasaran produk HHBK. Namun diakui oleh Kepala KPHP Kerinci, Neneng Susanti, bahwa pihaknya kurang dapat mendampingi petani dan memantau hasil produk kayu manis.

“KPHP kekurangan sumber daya yang dapat mengawal implementasi perhutanan sosial. Sementara ini baru ada satu Kelompok Tani di Desa Masgo, Kecamatan Gunung Raya yang secara intensif kami dampingi. Ada 20 petani di desa itu (Masgo) yang juga menghasilkan kayu manis,” ungkap Neneng.

Sebagai salah satu produk rempah, kayu manis atau di Kerinci disebut “kulit manis” patut mendapat perhatian khusus, mengingat besarnya kebutuhan dunia terhadap tanaman ini. Dalam penelusuran rantai pemasaran perdagangan kayu manis di Kabupaten Kerinci, ditemukan beberapa pola, dari hasil observasi dengan pelaku usaha di Desa Pungut Mudik bahwa pengepul (pedagang pengumpul) dapat mengakses pinjaman bank sebagai modal, sedangkan di Kawasan Hiang relasi antara pengumpul dan pedagang besar diikat oleh modal pedagang besar kepada pengepul.

Pola rantai pasok di Kerinci dibagi menjadi dua berdasarkan wilyah. Terdapat perbedaan pola rantai pasok, dikarenakan pola hubungan rantai tengah yang berbeda. Pada Desa Pungut Mudik sumber pembiayaan pengumpul atau pedagang antara berasal dari pinjaman bank, sedangkan di Kawasan Hiang berasal dari pedagang besar, hal ini menyebabkan pengumpul/pedagang antara di Kawasan Hiang lebih terikat.

Pada Desa Pungut Mudik untuk komoditi kayu manis dan kopi biasanya dijual ke pengumpul, selanjutnya disortasi dan dijual kembali ke perusahaan, sedangkan untuk komoditi umbi, jahe dan kunyit biasanya petani dapat langsung menjual ke pasar di Hiang atau sekitar desa. Pada Kawasan Hiang untuk komoditi cengkeh, karet kayu manis dan kopi biasanya dijual ke pedagang perantara, selanjutnya dijual ke pedagang besar di Hiang, sedangkan untuk komoditi durian biasanya petani dapat langsung menjual ke pasar di Hiang atau sekitar desa.

Management rantai pasok atau supply chain management (SCM), pihak-pihak yang terlibat antara lain petani, pengumpul, pedagang perantara, pedagang besar, perusahaan dan pasar.

Kayu Manis dari Desa Pungut Mudik biasanya dijual ke pengepul, selanjutnya disortasi dan dijual ke perusahaan. Sedangkan kayu manis dari Kawasan Hiang biasanya dijual ke pedagang perantara, selanjutnya dijual ke pedaganb besar di Hiang. Alur pendistribusian kayu manis dilakukan oleh pedagang lokal dan pedagang nasional, setelah itu baru dilakukan ekspor oleh pedangan pada level nasional. Beberapa pedagang lokal biasanya langsung menjualnya kepada PT.Rempah Sari, PT.STS, dan PT.Panca Surya.

Kasmar, salah satu pedagang kayu manis di Desa Pungut Mudik, menyebutkan jika ada tiga siklus penjualan sesuai dengan kesepakatan dengan ketiga perusahaan pelanggannya “Dalam sebulan bisa 40 ton kayu manis yang terjual ke pedagang besar (perusahaan). PT.Rempah Sari biasanya semingguan dengan kapasitas satu truk (sekitar 5-6 ton), untuk PT.STS periode jualnya dua mingguan. Sedangkan untuk PT.Panca Surya datang baisanya tiga mingguan,” ujarnya.

Selain besaran serapan kayu manis, ada hal penting yang harus diperhatikan oleh para pihak yang berada dalam rantai pasar kayu manis, yaitu standar baku produksi hingga penanganan pasca panen yang menjadi acuan bagi smallholder (petani dan pedagang kecil). Kasus yang banyak ditemukan dan dikeluhkan oleh pedagang besar adalah rendahnya kesadaran keselamatan dalam pemanenan kayu manis.

Abduhrahman, salah satu pedagang kayu manis di Kabupaten Kerinci mengatakan, “Petani atau pekerja pakai alat yang tidak sesuai peruntukan dan mengabaikan K3. Misalnya mereka masih pakai pisau dapur untuk memisahkan kulit kayu dengan batang. Ketika pekerja mengalami luka dan darahnya merembes pada kulit manis, berpengaruh pada kualitas. Ini yang menyebabkan kayu manis dianggap cacat sewaktu diekspor”.

Cara pengelolaan hutan yang dikembangakan secara turun-temurun oleh masyarakat adat maupun masyarakat lokal di dalam dan di sekitar hutan perlu didokumentasikan agar kelak dapat dikembangkan standar produksi dan penanganan pasca-panen yang selain memenuhi unsur-unsur penghormatan terhadap HAM, juga memberi penghormatan kepada adat setempat. Hal ini mengingat Kerinci adalah lokasi endemik kayu manis spesies Cinamomon Burmani.

Dalam diskusi multipihak dan lobi yang dilakukan Yayasan Penabulu maupun KpSHK, baik smallholder, pelaku usaha, dan KPHP sangat terbuka dengan rencana inisiasi pengembangan sistem data yang dapat terintegrasi dengan program perhutanan sosial. Jika kelak ada sistem data yang mampu melacak ketelusuran produk kayu manis, maka standar produksi sejak dari budidaya, pemanenan, hingga pasca-panen menjadi sangat dibutuhkan oleh petani dan pedagang agar kualitas kayu manis dari Kerinci menjadi lebih baik. Bahkan peneliti dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan Ghent University Belgia menyatakan kesediaannya mendukung penyusunan standar operasional prosedur (SOP) untuk produksi dan pasca-panen bagi petani kayu manis di Kerinci.

Semua pihak bersepakat memiliki misi yang sama untuk memperbaiki rantai nilai kayu manis Kerinci yang di Eropa dikenal dengan sebutan “Koerintji Cinnamon”. Ini sejalan dengan implementasi Pathway 3 Civic Engagement Alliance (CEA) yang didukung ICCO di Indonesia, bertemunya banyak pihak dengan beragam nilai untuk mendorong meningkatnya kualitas kehidupan smallholder melalui penerapan standar usaha yang berperspektif HAM. (AE/NP/AM/AL)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya