K.P. SHK

Masihkah ISPO Layak?

KPSHK. Bogor, Januari 2017.

Dalam rangka penguatan sistem sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), FWI (Forest Watch Indonesia) telah melakukan kajian Penguatan Sistem sertifikasi ISPO. Sehubungan dengan hal tersebut FWI telah mengadakan “Diskusi dan Konsultasi Para Pihak untuk Implementasi ISPO”. Tujuan dari diskusi ini adalah untuk mengumpulkan masukan dan rekomendasi para pihak dalam kajian penguatan sistem sertifikasi ISPO. Sejumlah tokoh dan lembaga konsorsium termasuk KPSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) turut serta berpartisipasi dalam diskusi tersebut.

Empat tahun (2009 – 2013) ISPO sudah diberlakukan namun, dari berbagai data yang terangkum menunjukkan bahwa selama ini instrumen ISPO belum mampu merespon dampak-dampak negatif yang ditimbulkan akibat pembangunan kelapa sawit. Instrument ISPO harus diperkuat agar dapat meningkatkan produktifitas, memperbaiki legalitas dan mendukung komitmen Indonesia untuk mencegah deforestasi maupun komitmen dalam penurunan emisi global. Serta yang terpenting adalah menjaga kredibilitas dari sistem itu sendiri.

Herry Purnomo Peneliti CIFOR
Herry Purnomo Peneliti CIFOR

Herry Purnomo selaku peneliti CIFOR, “ISPO bila dikaji memang belum tentu sesuai dengan tujuannya terhadap sertifikasi perkebunan kelapa sawit di Indonesia karena didalam porsesnya masih terdapat lingkup interaksi beberapa pihak terkait ISPO, Pemerintah dan Pengusaha perkebunan kelapa sawit”.

Mengenal karakteristik perkebunan kelapa sawit sebagai penghasil kebutuhan palm oil yang haus akan lahan secara berkelanjutan. Kebutuhan Palm Oil pada tahun 2020 akan mencapai 78 juta ton per tahunnya (Oil World Outlook). Pembukaan lahan baru dengan pembakaran hutan menyebabkan kerusakan habitat ekosistem, peningkatan emisi karbon, timbulnya konflik agraria dan perusakan lingkungan.

Indonesia telah kehilangan hutan alam seluas 515,9 ribu hektare akibat perkebunan kelapa sawit. Sebanyak 63 persen atau 327,5 ribu hektare diantaranya berada di dalam konsesi-konsesi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Provinsi Kalimantan Barat adalah yang terluas dengan angka deforestasi 147,6 ribu hektare, diikuti oleh Kalimantan Tengah 114,6 ribu hektare, Kalimantan Timur 34,2 ribu hektare, dan Riau 32,4 ribu hektare.

Herryadi selaku direktur eksekutif LEI (Lembaga Ekolebel Indonesia) menurutnya “Pemerintah menjadikan ISPO sebagai alat untuk legalitas perkebunan kelapa sawit, sehingga pemerintah dapat berhemat, namun hal itu membuat tugas pengawasan pemerintah kurang”.

Proses sertifikasi ISPO membutuhkan 4 sampai 15 bulan, sementara sampai tahun 2016, sekitar 800 perusahaan perkebunan kelapa sawit masih dalam tahap pendaftaran. Sementara, 115 perusahaan masih dalam proses penilaian.4 Kebanyakan perusahaan terlihat masih kesulitan dalam memenuhi aspek legalitas kebun, manajemen usaha, tanggung jawab sosial, dan utamanya aspek lingkungan.

Dalam sistem sertifikasi ini, kewenangan Komisi ISPO terlalu besar. Mulai dari membentuk sekretariat ISPO, tim penilai ISPO, komite penyelesaian keluhan sertifikasi, dan membentuk panel arbitrase/banding. Memastikan personil lembaga sertifikasi, lembaga konsultan, lembaga pelatihan, auditor, dan konsultan pendamping. Hingga menetapkan dan memutuskan hasil sertifikasi ISPO. Dampaknya, beban kerja komisi ISPO semakin besar sehingga berpengaruh pada kinerjanya yang lamban.

#KPSHK#Aris#

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya