Petani Indon Pelakunya
Article 2 of Perpres No.32/2008:
The objective of this Agreement is to provide effective mechanisms to achieve substantial reduction of disaster losses in lives and in the social, economic and environmental assets of the Parties, and to jointly respond to disaster emergencies through concerted national efforts and intensified regional and international co-operation. This should be pursued in the overall context of sustainable development and in accordance with the provisions of this Agreement.
Kebakaran hutan dan lahan di kawasan rawa gambut Riau telah menyebarkan asap ke wilayah udara Malaysia. Seperti dilansir Kompas (15/6), kondisi ini telah membuat Pemerintahan Diraja Malaysia mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan penangannya melalui pengiriman pesawat pengembom (air) untuk mengurangi titik api di kawasan hutan dan lahan gambut yang menyebabkan kebakaran.
Namun, ini menjadi kontroversial. Salah satu tuduhan yang menjadi penyebab kebakaran adalah petani Indonesia (baca: petani indon) yang pada musim kemarau membuka hutan dan lahan untuk pertanian dengan cara membakar (Kompas, 15/6). Padahal banyak perusahaan perkebunan asal Malaysia yang mendapatkan ijin pembukaan lahan dan hutan rawa gambut untuk areal sawit di Riau. Ditengarai ada puluhan perusahaan perkebunan asal Malaysia di Riau. Dan hingga saat ini belum ada bukti perusahaan sawit patuh aturan untuk tidak membuka lahan dengan membakar, serta tak ada bukti pula bagi pernyataan yang menyebutkan petani indon sebagai pelaku pembakaran lahan dan hutan di Indonesia.
Penanganan bencana lingkungan asap se-Asia Tenggara yang menjadi poin penting dalam Peraturan Presiden No.32 tahun 2008 tentang Agreement on Disaster Management and Emergency Response, sudah menjadi kesepakatan antarnegara di Asia tenggara. Jadi anjuran Malaysia dan Singapura agar Indonesia meratifikasi traktat regional tersebut sudah menjadi kewajiban.
Namun bagaimana dengan persoalan alih fungsi lahan dan hutan (rawa gambut) menjadi areal industri berbasis sumberdaya alam (khususnya perkebunan sawit) yang melibatkan investasi-investasi negara asia tenggara semisal Malaysia dan Singapura harus pula menjadi perhatian para penandatangan traktat regional tersebut? Apalagi ada tuntutan kepada perusahaan-perusahaan untuk taat terhadap good corporate governance (via corporate socio-ecology responsibility) yang menjadi prasyarat pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Pemerintah asia tenggara lainnya, jangan asal tuduh siapa pelaku kebakaran lahan dan hutan rawa gambut di Indonesia (kasus kebakaran lahan dan hutan rawa gambut Riau). Tanggung renteng pembukaan lahan dan hutan rawa gambut di Riau yang menyebabkan kualitas udara di wilayah udara Malaysia menurun, diakui atau tidak menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan masuknya investasi Malaysia ke Indonesia melalui sektor Kelapa Sawit. (tJong)