Seperti petani lainnya, dalam melakukan budidaya kopi mulai dari perawatan hingga pasca panen, banyak tokoh perempuan tangguh diantaranya adalah Wida Cahyani, atau masyarakat sekitar lebih akrab dengan panggilan Ma’e (Ibu) Gilang. Panggilan yang dinisbatkan kepada anak pertamanya. Sama dengan perempuan lain di Desa Pakis, selain mengurus anak dan rumah tangga, perempuan ini juga membantu suaminya mengelola lahan di dalam kawasan hutan. Namun yang membedakan Ma’e Gilang dengan perempuan lain di Desa Pakis adalah kesadaran akan pentingnya belajar untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kopinya.
Perempuan 30 tahun ini sadar betul bahwa kopi adalah satu-satunya sumber penghasilan yang bisa diandalkan di desanya, dengan musim panen yang hanya satu tahun sekali, Ma’e Gilang harus berusaha keras agar hasil dalam satu musim panen kopinya mampu mencukupi kebutuhan keluarganya selama satu tahun.
Tak dapat dipungkiri, bahwa ia juga pernah terjerat dalam praktek “ijon”. Ini yang membuat Ma’e Gilang mendukung keputusan suaminya untuk melakukan proses petik merah demi mendapatkan hasil yang lebih baik disetiap musimnya. Tentu ia juga harus lebih banyak terlibat mengurus kopi bersama suami pada setiap proses tahapan pengolahan mulai dari pemanenan hingga pasca panen untuk memangkas biaya usaha tani kopi.
Ma’e Gilang bersama sang suami Muarif yang merupakan putra dari Mbah Waroh yaitu inisiator terbentuknya Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) adalah salah satu anggota Koperasi Kejatek Makmur dan LMDH Rengganis.
Ma’e tidak mau petik asal, tidak semua buah dipetik pada satu waktu dimana buah hijau, kuning, merah pun bercampur baur. Ma’e hanya melakukan petik merah, sesuai standar kopi yang bermutu. Buah merah, matang, yang biasanya dikenal untuk kopi specialty.
Alasan Ma’e Gilang melaukan petik merah selain karena selisih harga yang lebih tinggi, juga mengandung kepuasan akan kualitas dan cita rasa kopinya. Ma’e percaya bahwa kualitas akan menentukan harga. Tak heran meskipun dalam melakukan petik merah harus melalui proses yang panjang dalam pengolahannya. Ma’e tetap tekun dan konsisten melakukan proses pengolahan mulai kopi glondong (istilah sebelum menjadi kopi sebenarnya, di tempat lain disebut Coffee Cherries atau Coffee Berries yaitu kopi yang masih ada di pohonnya atau baru dipetik namun belum dikeringkan). Kemudian diproses oleh Ma’e menjadi biji kopi yang dikenal dengan sebutan biji kopi mentah atau Green Bean.
Bambang Direktur SD Inpers (Studi Dialektika Indonesia dalam Perspektif) menjelaskan kepada KpSHK (Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) bahwa pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang banyak diusahakan oleh anggota kelompok LMDH Rengganis adalah Kopi. Selain itu untuk tanaman HHBK masyarakat banyak mengusahakan Durian, Manggis, Duku, dan Alpukat. Namun Kopi dan Durian masih menjadi komoditas utama yang diusahakan oleh masyarakat di dalam dan di luar kawasan.
Saat ini tercatat 536 Rumah Tangga Petani yang tergabung dalam LMDH Rengganis dan telah mengelola kawasan hutan seluas 1.32,29 Ha di wilayah RPH Suci BKPH Lereng Yang Timur KPH Perhutani Jember, sesuai Naskah Kesepakatan Kerjasama (NKK) antara LMDH Rengganis dan Perhutani KPH Jember yang kemudian pada April tahun ini 2019 dibungkus dalam Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (KULIN KK) dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Jenis kopi yang banyak dibudidayakan oleh anggota LMDH Rengganis dan Koperasi Kejatek Makmur di Jember adalah jenis Robusta. Setidaknya ada 3 jenis klon yang sering dibudidayakan oleh Petani Kopi Rengganis di Desa Pakis yakni jenis klon Kalimas, Tunggusari, dan Trelin. Dalam satu hektar kebun kopi biasanya mampu menghasilkan 1 hingga 3 ton kopi per/musim.
Lebihlanjut Direktur SD Inpers ini menjelaskan, dengan luas 1.032,29 Ha kawasan yang telah diusahakan, dapat diperkirakan produksi kopi Rengganis mencapai 2.064,58 Ton per satu musim panen. Untuk pemasaran, anggota LMDH Rengganis sayangnya masih melalui tengkulak atau pengepul.
“Ketika pasar petik campur mampu menampung hingga 2.000 Ton lebih per/musim, pasar untuk petik merah baru mampu menampung 4 Ton per/musim. Pasar petik merah terbesar adalah ditingkat Roastery. Daya tampung pasar petik merah yang terbatas membuat banyak petani kopi memilih untuk petik campur”, sesal Bambang.
Hal inilah yang menyebabkan banyak petani kopi memilih untuk melakukan petik campur (hijau, kuning, merah) dan menjualnya langsung ke tengkulak atau pengepul karena proses pemanennya menurut mereka tidak terlalu memakan biaya banyak.
Alasan lain petani tidak memilih petik merah karena petik campur dianggap lebih praktis dan biaya pemanenan yang lebih murah. Belum lagi ditambah dengan proses pengolahan petik merah lebih panjang dan membutuhkan ketelitian serta kedisiplinan dalam setiap tahapan proses dari kopi glondong menjadi Green Bean.
Sementara Ma’e Gilang melihat bahwa selama ini kelemahan pemasaran kopi rakyat menjadi suatu ancaman kerugian bagi petani kecil seperti dirinya. Terutama praktek “Ijon” yang dilakukan oleh sebagian besar petani. Hal ini terpaksa dilakukan untuk menutup biaya produksi.
“Petani biasa meminjam modal kepada pengepul dengan dibebani kewajiban menjual hasil panennya kepada pengepul (pemberi modal awal) dengan potongan harga dari harga pasar” urai Ma’e Gilang.
Musim ini Ma’e Gilang bersama suaminya telah menghasilkan 1 Ton Kopi Petik Merah dengan proses Full Wash dan Honey Process ke pasar Roestery, artinya Ma’e Gilang telah menyumbang 0,03% kopi specialty dari total keseluruhan hasil produksi kopi di Lereng Selatan Hyang Argopuro.
#Bambang/Bayu/Inal/SD-Inpers/KpSHK#