K.P. SHK

Label Hijau Cederai Orang Rimbo

“…ratu alim disembah, ratu lalim dilawan. Kami ikut aturan negara, tapi kalau bertentangan dengan adat, kami lawan.” (Ketua Adat Orang Rimbo via Minjak, Aktivis Sekola)

Nomaden begitu sebutan cara hidup bagi komunitas yang telah menghuni Kawasan Hutan Bukit Dua Belas-Jambi sejak ratusan tahun lalu. Orang Rimbo Bukit Dua Belas, adalah komunitas Melayu Tua yang hingga kini sangat bergantung penghidupannya dengan sumberdaya hutan yang berada di kawasan hutan Bukit Dua Belas yang terletak di tiga kabupaten di Jambi yaitu Kabupaten Sorolangun, Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tebo.

Komunitas yang tidak kurang berjumlah hingga 3.000 jiwa ini (Sekola, 2011) terbagi dalam kelompok-kelompok kecil (keluarga) dan berombong dengan jumlah 59 orang setiap rombongan (bathin dengan satu temenggung) merupakan (pola) struktur sosial dalam masyarakat hukum adat di Jambi yang sejak masuknya pembangunan kehutanan dan perkebunan, kehidupan mereka mulai terusik. Sejak tahun 1980-an Orang Rimbo Bukit Dua Belas terusik dan terpuruk karena ruang hidup mereka (saat ini disebut sebagai kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas yang luasnya ditetapkan seluas 60.500 ha) digunakan bagi kepentingan pengusahaan hutan untuk wilayah konservasi, operasi ijin HPH (Hak Pengusahaan Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri) dan Perkebunan Besar Kelapa Sawit.

Dalam konferensi pers Orang Rimbo Bukit Dua Belas di Kantor WALHI, Tegal Parang Utara No.14, Mampang Prapatan-Jakarta Selatan (14/4) lalu, 3 orang perwakilan Komunitas Termarginalkan di Jambi ini memaparkan beberapa persoalan hak-hak hidup mereka yang dilanggar oleh aturan-aturan negara dan pembangunan.

“Saat ini dan dulu jauh berbeda kondisi kami. Sejak ada PT-PT (perusahaan HPH, HTI dan Perkebunan Kelapa Sawit, red) itu kami mulai kesulitan dan gerak kami makin sempit. Sebagian kami sudah ikut ‘Orang Terang’ (sebutan untuk orang biasa oleh Orang Rimba). Tanaman obat untuk sehat kami udah langka,” ujar Minjak, seorang aktivis Sekola (sebuah yayasan pendidikan untuk orang rimbo) yang menjadi juru bicara Orang Rimbo di acara Konferensi Pers Orang Rimbo Bukit Dua Belas di Jakarta.

Mengacu pada Man and Biosphere Reserve Program UNESCO yang menjadi latar belakang penetapan kawasan hutan Bukit Dua Belas sebagai Kawasan Cagar Alam Bukit Dua Belas melalui surat usulan Gubernur Jambi tahun 1984 (SK No. 522/51/1973/1984) jauh sebelum ditetapkan sebagai taman nasional (Menteri Kehutanan dan Perkebunan, SK No.258/Kpts-II/2000), kawasan hutan yang dihuni oleh Kelompok Orang Rimbo Makekal yang meliputi 1.300 jiwa merupakan kawasan alamiah hubungan harmonis manusia dan alam. Namun seiring pembangunan kehutanan dan perkebunan, hubungan harmonis antara Orang Rimbo dan hutan di Bukit Dua Belas diabaikan Negara.

Pengabaian-pengabaian Negara tersebut seperti juga apa yang menjadi tujuan paparan Orang Rimbo Bukit Dua Belas dalam acara temu dengan para jurnalis ibu kota di Jakarta yaitu:

  1. Orang Rimbo meminta Negara memenuhi hak-hak mereka sebagai warga negara.
  2. Meminta Negara untuk melindungi mereka dari tindakan diskriminasi oleh pihak-pihak lain.
  3. Meminta Negara menghentikan semua pelaksanaan pembangunan yang merampas hak-hak ulayat Orang Rimbo.
  4. Meminta Negara memulihkan hak-hak mereka yang telah terlanggar.

Cedera Label Hijau

Beberapa waktu lalu Kementerian Lingkungan Hidup memberikan ‘label hijau’ (penghargaan bagi perusahaan yang berkomitmen menjaga lingkungan dan pemberdayaan sosial) pada satu perusahaan pengembang perkebunan kelapa sawit, PT Sari Aditia Loka (PT.SAL) di kawasan hutan Bukit Dua Belas Jambi. Pemberian label hijau ini menimbulkan tanya bagi Orang Rimbo Bukit Dua Belas, karena pada kenyataannya perusahaan tersebut ditengarai banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran atas hak hidup Orang Rimbo.

Sebagai bukti penguat bahwa pengusahaan kawasan hutan di wilayah jelajah Orang Rimbo tersebut sarat dengan pelanggaran HAM, hasil pemantauan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dilakukan pada Februari 2007 salah satunya menyebutkan, telah terjadi pelanggaran Hak Atas Lingkungan Hidup di kawasan hutan Bukit Dua Belas karena terjadi pengrusakan habitat Orang Rimbo karena pengusahaan hutan dan ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Selain belum adanya kejelasan tata batas (temu gelang) areal perluasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, pemberian label hijau pada PT. SAL tidak memiliki alasan kuat. Bahkan menurut perwakilan Orang Rimbo Kelompok Makekal (saat konferensi pers) menyatakan justru terjadi saling klaim wilayah keberhasilan dari program CSR (Corporate Social Responsibilty) PT. SAL dengan program pemerintah oleh masing-masing pelaksananya di lapangan, yang bagi Orang Rimbo Bukit Dua Belas sendiri tidak memberikan manfaat.

Tumpang tindih keberhasilan eksploitasi yang mengatas namakan pemberdayaan Orang Rimbo, masih terjadinya pelanggaran Hak Atas Lingkungan Hidup dan HAM dan pelanggaran hak-hak lainnya tersebut, menjadi keniscayaan hal-hal tersebut telah mencederai hak hidup Orang Rimba di ruang hidupnya. Apakah label hijau yang cedera ini akan ditarik oleh Kementerian Lingkungan Hidup? Mari lihat nurani pengambil keputusan (tJong).

Leave a Reply

Lihat post lainnya