KpSHK menjajaki pengelolaan Hutan Lestari melalui Sertifikasi SHK
Sustainable Forest Management (SFM/pengelolaan hutan lestari) menjadi salah satu pilihan untuk upaya mitigasi perubahan iklim dalam skema pembangunan kehutanan saat ini. SFM termasuk ke dalam upaya REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation). Konsep pengelolaan hutan lestari ini dimaksudkan melestarikan hasil produksi, panen yang berkelanjutan yang dilakukan sesuai dengan nilai lingkungan hidup dan kelestarian Sumber daya alam dan hutan yang dapat menjamin keberlanjutan sumber penghidupan di dalam masyarakat. Dalam KTT Bumi Rio de Janeiro dengan mengeluarkan prinsip-prinsip dalam pengelolaan hutan lestari meliputi, kepemilikan hutan, tujuan pengelolaan Sumberdaya hutan, kebijakan dalam pengelolaan hutan, langkah-langkah dalam pengelolaan dan pembangunan hutan, nilai hutan, keseimbangan manfaat ekonomi dan ekologi, pendanaan, teknis dan system pemasaran hasil hutan, peranan hutan tanaman.
Pengelolaan Hutan Lestari menurut International Tropical Timber Organization (ITTO) merupakan suatu proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu secara tegas, dalam menghasilkan barang dan jasa hutan yang diperlukan secara berkelanjutan, tanpa menyebabkan pengurangan nilai dan produktuvitas hutan di masa yang datang dan tanpa menimbulkan dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan social.
Perumusan pengelolaan hutan lestari tersebut juga dimasukan ke dalam UU Kehutanan No. 41/1999, dimana pada bagian kedua “Asas dan Tujuan” di pasal 2 menyebutkan Penyelengaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan.
Sejak 1995, KpSHK bersama anggota dan mitra di daerah mengembangkan Sistem Hutan Kerakyatan melalui pola-pola pengelolaan hutan yang telah sejak lama dilakukan oleh rakyat dengan aturan-aturan lokal yang disepakati bersama [aturan adat/lokal]. Sistem Hutan Kerakyatan juga tidak mengarah hanya pada kayu, namun akan lebih pada pengembangan pengelolaan hasil hutan non kayu sebagai produk utama dari sistem hutan kerakyatan.
Pengelolaan Hutan Lestari Melalui Sertifikasi
Konferensi ITTO di Bali 2000 memutuskan dalam tercapainya pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management / SFM) di hutan tropika merupakan era penerapan sertifikasi ataupun ekolabel (ecolabeling). Konsep sertifikasi hutan ini dapat diartikan sebagai suatu proses verifikasi yang menghasilkan serifikat mengenai kualitas pengelolaan hutan dalam hubungannya dengan satu set criteria dan indicator dalam hal ini tentunya menjamin kelestarian produksi/ekonomi, kelestarian fungsi ekologi/lingkungan dan kelestarian fungsi social hutan.
Dalam kebijakan nasional untuk pengelolaan di bidang kehutanan yang diatur dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan juga menjadi dasar atas pelaksanaan pengelolaan hutan lestari. Dimana pada bagian Kedua (Asas dan Tujuan) di pasal 2 menyebutkan Penyelengaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Sedangkan pada pasal 3 nya ” Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan :
- Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional
- Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari;
- Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.
- Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisi-patif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal
- Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan
Komitmen berbagai pihak untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari telah melahirkan berbagai ukuran/standar kelestarian yang dituangkan ke dalam bentuk seperangkat kriteria dan indikator ataupun kedalam bentuk principle dan kriteria. Ukuran/standar kelestarian tersebut ada yang secara khusus diarahkan untuk menilai kinerja pengelolaan hutan yang dilakukan oleh suatu forest management unit (FMU) sebagai suatu persyaratan (requirement) untuk memperoleh sertifikat untuk memenuhi permintaan pasar ataupun yang digunakan terbatas pada upaya untuk mendorong FMU untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari. Ukuran/standar kelestarian tersebut telah banyak dikembangkan, baik oleh lembaga pemerintah maupun nonpemerintah dengan cakupan nasional, regional maupun internasional. Ukuran/standar tersebut masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, namun bila dicermati lebih jauh kesemuanya mempunyai muara yang sama, yaitu kelestarian. Perbedaan yang ada adalah merupakan akibat perbedaan preferensi dari para pengembang sesuai dengan tingkat kesejahteraan, penguasaan teknologi, dan kesadaran akan pentingnya kelestarian hutan.
Pengelolaan Hutan Lestari yang diatur di Indonesias hanya pada penilaian dalam produknya yaitu kayu, sehingga ada suatu legal kayu dalam pengelolaan hutan. Kebijakan dalam hal produksi kayu ini merupakan implementasi dari Pengelolaaan Hutan Produksi Lestari melalui PerMenhut No. P.38/Menhut-II/2009 juncto PerMenhut No. P.68/Menhut-II/2011 juncto PerMenhut No. P.45/Menhut-II/2012 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak. Dengan demikian pengelolaan hutan lestari ini baru sebatas produksi kayu yang memang mempunyai legalitas. Sedangkan pengelolaan hutan lestasi melalui system pengelolaannya diatur dalam substansi peraturan terkait dengan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam.
Pengembangan prinsip-prinsip Sistem Hutan Kerakyatan (SHK), diantaranya : 1) Aktor utama pengelola adalah rakyat melalui lembaga yang di bentuk; 2) Memiliki wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang mendukungnya; 3) Interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya bersifat langsung dan erat; 4) Ekosistem menjadi bagian penting dari sistem kehidupan rakyat setempat; 5) Pengetahuan lokal menempati posisi penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan; 6) Teknologi yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal ataupun jika bukan teknologi lokal, merupakan teknologi yang telah melalui proses adaptasi dan berada dalam batas yang dikuasai oleh rakyat; 7) Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip kelestarian [sustainability]; 8) Sistem ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama, 9) Keanekaragaman hayati mendasari berbagai bidangnya, dalam jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem sosial, sistem ekonomi dan lain sebagainya.
Dari Sembilan prinsip tersebut diatas merupakan suatu standarisasi dalam mengembangan unit pengelolaan SHK di wilayah kelola rakyat/adat/local. Hal ini didasari dari pengembangan pengetahuan komunitas dalam menjaga kelestarian wilayahnya dengan menggunakan teknologi dan pengetahuan lokalnya. Sehingga transformasi pengetahuan dan kelembagaan dapat dikontrol secara bersama di dalam komunitas.
(Ari)