K.P. SHK

Konsolidasi REDD Gambut Antarsektor

Data Dasar Indonesia Tak  Memadai

Berita tidak menyatunya kepentingan nasional tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam kancah negosiasi Utara-Selatan (negara annex 1 dan non annex 1) sudah menjadi rahasia umum. Dalam acara Seminar Kehutanan Masyarakat dan Perubahan Iklim di Hotel Pangrango II, Bogor (19/11), Dodi S Sukardi, wakil DNPI (Dewan nasional Perubahan Iklim) secara tersirat mengungkapkan hal ini.

“DNPI bertugas mengkoordinasi sektor. Tiap sektor memilki kelompok kerja perubahan iklim, semisal Dephut (Departemen Kehutanan-red),” jelas Dodi saat memaparkan tugas dan wewenang DNPI.

Dalam kesempatan pertemuan yang lain, dalam acara konsolidasi dan evaluasi hasil-hasil pertemuan masyarakat sipil Indonesia di tingkat internasional, nasional dan lokal (2/11), CSF (Civil Society Forum for Climate Justice) memandang peran DNPI di beberapa perundingan dan negosiasi internasional cukup lemah. Salah satu alasannya, anggota delegasi Indonesia yang dibawahi DNPI selalu berganti orang dalam setiap pertemuan.

Data Kebakaran Minus
Praktik kehutanan secara empirik, dari beberapa temuan anggota CSF menyebutkan, masih cukup besarnya persoalan overlaping fungsi hutan (Hutan Lindung, Hutan Produksi dan Hutan Konservasi) antarsektor termasuk dengan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan. Bahkan yang cukup krusial berkenaan dengan REDD (reducing emission from deforestation and degradation) hutan gambut, Departemen Kehutanan tidak memiliki base line data kebakaran gambut di bawah tahun 1995.

Carbon accounting atau penghitungan karbon baik potensi pelepasan maupun penyerapannya oleh hutan (gambut) menjadi indikasi penentuan kompensasi REDD untuk hutan gambut. Base line data kebakaran lahan dan hutan gambut menjadi dasar perhitungan emisi karbon rata-rata per tahun Indonesia, karena ditengarai 45% emisi karbon Indonesia bersumber dari kebakaran gambut (DNPI, 2009).

Jasa Gambut, Jasa Air
Sementara itu, salah satu kelompok peneliti UGM (Universitas Gajah Mada) berhasil melakukan pengamatan fungsi ekologi gambut di dua kabupaten di Riau, Siak dan Pelalawan. Dengan mengunakan pengukuran remote sensing, pengukuran karbon melalui pengeboran hingga 14 m dan geofisik hutan gambut, carbon balance yang didapat mendekati nol (nealy zero). Pengamatan dan pengukuran yang berupa long term ecological research (LTER) dilakukan di hutan gambut seluas 700.000 hektar.

Dalam kondisi tidak ada deforestasi atau degradasi, hutan gambut dapat melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar, menurut hasil pengamatan tersebut. Hasil keselurahan pengamatan dan pengukuran fungsi hutan gambut tersebut justru mengarah kepada hutan gambut sebagai penyeimbang air (atau pengatur air permukaan). Sehingga rekomendasi dari kegiatan kelompok ini memberikan opsi atau pilihan konversi gambut kepada peruntukkan lain akan mengakibatkan menurunnya nilai air yang menyebabkan terganggunya system air, dan dengan begitu ekonomi masyarakat setempat menjadi terganggu.

Sejalan dengan rekomendasi hasil pengamatan dan pengukuran karbon di hutan gambut di dua kabupaten di Riau ini, di Eropa telah dilaksanakan konsolidasi pengukuran karbon (nealy zero) secara bersama antarnegara yang memiliki kawasan hutan gambut. Dan Jerman ditengarai termasuk negara pelepas karbon terbesar dari kerusakan hutan gambutnya. Dan hal ini yang belum pernah dilakukan oleh negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Brunai dan beberapa negara Indochina yang memilki hutan rawa gambut.

Leave a Reply

Lihat post lainnya