K.P. SHK

Kondisi dan Fungsi Hidrologis Hutan Gambut

Kondisi dan fungsi hidrologis ekosistem gambut ditentukan oleh kondisi komponen-komponen biofisik yang ada di ekosistem tersebut (Wösten et al. 2008), termasuk jenis tutupan lahan, asal sumber air, kematangan tanah gambut di permukaan, dan keberadaan kanal drainase.

Jenis tutupan lahan hutan gambut primer merupakan jenis tutupan lahan yang menjadi referensi untuk menilai apabila terjadi kerusakan fungsi ekosistem gambut.  Hutan gambut menyediakan sejumlah pohon-pohon yang dapat mempertahankan kondisi permukaan gambut yang memungkinkan terjadinya infiltrasi air dengan mudah, dimana perakarannya mencegah terjadinya limpasan air (run-off) yang berlebihan.  Hutan juga memproduksi bahan pembentuk gambut yaitu perakaran, daun dan kayu mati, yang akan didekomposisikan secara perlahan dan tidak sempurna.  Lebih penting lagi, hutan yang belum mengalami gangguan penebangan dan pengeringan gambut memungkinkan terjadinya periode penggenangan air yang cukup lama di musim hujan.  Penggenangan inilah yang menyebabkan terjadinya proses dekomposisi bahan organik (bahan pembentuk gambut) secara perlahan dan tidak sempurna.  

Sumber air pada ekosistem gambut yang ada di Indonesia dapat digolongkan menjadi sumber air hujan saja dan sumber air campuran dari curah hujan dan luapan sungai.  Gambut yang berkembang dengan sumber air hujan saja biasanya merupakan kubah gambut, berkemasaman tinggi (nilai pH tanah rendah), dan memiliki beda elevasi dengan badan air sungai yang lebih besar daripada pasang surut air sungai di dekatnya.  Sedangkan gambut yang berkembang dengan sumber air campuran (air hujan dan sungai) biasanya memiliki tingkat kemasaman lebih rendah, kandungan mineral lebih banyak dan memiliki beda elevasi yang lebih rendah dari elevasi pasang tertinggi sungai yang berada di dekatnya.

Kematangan tanah gambut merupakan tingkat dekomposisi yang terjadi pada bahan organik tanah gambut.  Tingkat kematangan gambut dibagi menjadi tiga, yaitu kematangan lanjut (saprik), kematangan sedang (hemik) dan kematangan awal (fibrik).  Gambut saprik memiliki daya hantar air (konduktivitas hidrolik) yang sangat rendah akibat nilai bobot isi yang tinggi,  serta ukuran partikel organik dan pori-pori yang sangat kecil.  Gambut fibrik memiliki daya hantar air yang sangat besar akibat nilai bobot isi yang rendah dan ukuran partikel organik serta pori-pori yang besar. Jenis kematangan gambut dapat diobservasi di lapangan dengan melakukan peremasan segenggam bahan organik gambut, kemudian memperhatikan jumlah bahan organik yang tersisa dalam genggaman.  Gambut saprik adalah jenis yang hanya menyisakan sedikit (kurang dari 15%) bahan organik setelah peremasan.  Gambut fibrik adalah jenis yang menyisakan sangat banyak (lebih dari 75%) bahan organic setelah peremasan. Gambut hemik adalah jenis yang menyisakan bahan organic dalam jumlah diantara fibrik dan saprik (15%<hemik<75%) setelah peremasan (Agus et al, 2008).

Kanal drainase merupakan saluran air yang digali di permukaan tanah gambut dengan kedalaman bervariasi dari sekitar satu hingga tiga meter.  Kanal drainase dibuat dengan fungsi untuk sarana transportasi (untuk manusia dan hasil hutan) dan untuk menurunkan permukaan air di lahan gambut.  Kanal drainase tersebut biasanya mamiliki tiga tingkat yang merefleksikan hubungannya dengan badan air terdekat, yaitu kanal primer, sekunder dan tersier.  Kanal primer adalah kanal drainase yang langsung terhubung dengan sungai, danau atau laut.  Kanal sekunder adalah kanal yang terhubung dengan kanal primer dan tidak terhubung langsung dengan badan air.  Kanal tersier adalah kanal yang terhubung dengan kanal sekunder.

Foto Pengukuran Kedalaman, Panjang, dan Lebar Kanal

Kanal drainase yang dibuat dengan intensitas tinggi (jumlah yang banyak) dan tidak diatur dalam sebuah tata Kelola air yang baik akan menyebabkan terjadinya peningkatan tingkat dekomposisi gambut secara drastis melalui proses oksidasi.  Peningkatan tingkat dekomposisi tersebut akan menyebabkan bahan organik gambut diuraikan secara lebih cepat oleh mikro-organisme tanah dan dilepaskan ke atmosfer sebagai gas CO2.  Proses penguraian bahan organik tersebut jauh lebih besar dari proses pembentukannya, sehingga gambut akan berkurang dan lambat laun habis.  Kecepatan penguraian bahan organik gambut telah diukur pada berbagai jenis tutupan lahan dan berkisar antara nol pada hutan rawa gambut primer, 32 ton CO2/tahun pada hutan rawa sekunder, hingga 73 ton CO2/tahun pada hutan tanaman industri (Hiraishi et al. 2014; Hoyt et al. 2020). 

Penulis: Imam Basuki, Ph.D.

Sumber: Laporan Akhir Hidrologi Gambut di Empat Hutan Desa,  Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah

Leave a Reply

Lihat post lainnya