K.P. SHK

Kehutanan Sosial Indonesia

Prosedur Rumit dan Monokultur

Diskusi “Community Forestry Indonesia Sudah Dimana?” yang diselenggarakn KpSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) di Crawford Lodge, Bogor (23/7) adalah mula untuk penyegaran terhadap pelaksanaan beberapa perubahan kebijakan kehutanan sosial di Indonesia.

“Implementasi HKm, HTR, Hutan Desa dari analisis saya, sangat rumit”, Ujar Cristine dari FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat) dalam paparannya.

Kerumitan prosedur pengajuan dari program-program kehutanan semisal HKM (Hutan Kemasyarakatan), HTR (Hutan Tanaman ‘Rakyat’), dan Hutan Desa tampak pada jalur birokrasi dalam pengambilan keputusan dari kepala desa hingga ke pemerintah pusat atau menteri kehutanan. Jalan yang harus ditempuh oleh masyarakat sangat panjang.

Dan ini juga diperparah dengan adanya kondisi kesenjangan pemahaman antara pemerintah daerah. Pemerintah Kabupaten sering kali masih menganggap program-program kehutanan sosial tersebut sebagai sekedar pelimpahan kewenangan semata dari pusat ke daerah. Harapan kehutanan sosial sebagai langkah menjawab pengentasan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan tidak menjadi prioritas daerah.

“Bupati masih gagap dan tidak mengerti fungsi program KS (Kehutanan Sosial-red). Kalau bupati tidak paham fungsi KS untuk meningkatan ekonomi masyarakat sekitar hutan, bagaimana mau memprioritas KS,” lanjut Cristine yang juga pengajar Kehutanan di Universitas Lampung.

Cristine juga mencontohkan kasus uji coba HKM di Lampung. Pelaksanaan HKM di Gunung Betung, Lampung, justru tidak sesukses di Lampung Barat. Alasannya, salah satunya karena administrasi wilayah, HKM Gunung Betung berada di wilayah pemerintahan kota, sementara HKM Lampung Barat di wilayah kabupaten. Dan ini yang dimaksud dengan terjadinya gap pemahaman fungsi KS.

“Pelaksanaan KS di lapangan masih terkendala ketidakjelasan pemilikan lahan (status lahan-red). Bahkan dalam beberapa penelitian kami masih terpakunya KS kepada satu komoditi yaitu karet,” jelas Gama dari ICRAF yang turut menjadi pemapar dalam diskusi tentang KS.

Persoalan akses pasar, pilihan komoditas atau tanaman, serta penyediaan bibit unggul dan subsidi pupuk menjadi pemaparan Gama mengenai program-program KS yang sudah dilaksanakan di beberapa tempat. Padahal menurutnya banyak beraneka ragam komoditas hutan yang dapat dikembangkan dan berpotensi menjadi komoditas unggulan, semisal gaharu.

Lain halnya dengan Abetnego Tarigan dari Sawit Watch yang juga datang sebagai pemapar lainnya dalam diskusi yang dilaksanakan menjelang pelaksanaan Workshop Internasional Community Forestry di Nepal pada September nanti. Petinggi Sawit Watch ini, bahkan mempertanyakan soal penamaan KS sendiri.

“Kenapa sebutan KS tidak berperspektif ekonomi, semisal Kehutanan Ekonomi Rakyat?” ungkap Abetnego Tarigan yang dalam diskusi kali ini serasa ‘ditodong’ untuk memaparkan persoalan perkebunan sawit di Indonesia.

Mempertanyakan istilah KS ini bersangkutan dengan perspektif ekonomi dari suatu komoditas. Salah satu alasan kenapa sawit menjadi komoditas primadona saat ini, karena sawit sangat menjanjikan secara ekonomi. Walaupun demikian, dia tetap berharap kawasan hutan yang belum dikonversi, jangan sampai dikonversi ke perkebunan sawit. Karena dampak kerusakan lingkungan akibat sawit akan sangat susah dipulihkan. (tJong)

One thought on “Kehutanan Sosial Indonesia

  1. Saya sangat setuju dengan diskusi semacam ini.dan menyarankan agar terus dilakukan,bukan saja di Jawa tapi tolong agar adakan di NTT. saya melihat bahwa NTT sangat potensial untuk dikembangkan perhutanan sosial baik berupa HKm, HTR,HR dll yang intinya membantu memecahkan persoalan ekonomi masyarakat. Makasih..

Leave a Reply

Lihat post lainnya