Di tengah heningnya lahan kaleka, seorang lelaki Dayak melangkah perlahan. Langit yang biru cerah menjadi atap bagi kebun manggis yang rimbun. Dengan kulit yang kecokelatan oleh matahari, tangannya yang kasar namun lembut meraba-raba pohon manggis tua. Setiap sentuhan tangannya seperti doa yang dipanjatkan kepada alam.
Matanya yang tajam, seolah-olah memindai setiap cabang dan daun, mencari manggis yang matang sempurna. Dalam heningnya pagi, hanya suara dedaunan yang bergoyang perlahan oleh angin dan kicauan burung yang sesekali menyambut.
Dengan penuh ketelitian, dia memilih satu buah manggis, memutar dan menariknya perlahan dari cabangnya. Buah itu, bulat sempurna dengan warna ungu tua, adalah hadiah dari alam yang dijaga dan dirawat dengan cinta di tempat yang bersejarah, Kaleka.
Menurut Masimpei, Mantir adat Tangkahen, Kaleka adalah salah satu cara masyarakat dayak mengelola lahan. Metode ini telah digunakan oleh masyarakat dayak secara turun-temurun. Kaleka adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebun atau hutan yang biasanya dikelola secara tradisional oleh masyarakat adat yang dulunya merupakan kampung yang sudah ditinggalkan.
Masimpei mnuturkan, proses pembentukan kaleka terdapat beberapa ritual yang dilaksanakan.
“Sebelum terbentuk Kaleka, ada beberapa ritual yang harus dilakukan dimulai memilih, membuka lahan yang akan ditinggali sampai membangun rumah atau pemukiman lalu ditinggalkan menjadi Kaleka” Jelas Masimpei
Sama halnya, menurut Simpan W Rombang, Sekretaris Damang Adat Kahayan Hilir bahwa proses sebelum menjadi Kaleka, biasanya masyarakat akan menentukan lokasi terlebih dahulu. Dalam penentuan lokasi yang akan dijadikan pemukiman, biasanya masyarakat lokal melakukan ritual melalui Ayam yang memiliki corak 3 warna yaitu hitam, merah, putih. Jika ayam berkokok pada saat melewati lahan maka lahan tersebut cocok untuk ditempati.
Simpan mengatakan bahwa ritual penentuan lokasi juga dapat dilakukan dengan beras, jadi tujuh biji beras dibungkus dan diikat dengan benang putih. Jika ada yang retak atau belah artinya penunggu lahan tidak diterima untuk menempati atau membuka pemukiman begitupun sebaliknya
“Memulai membuka lahan atau ladang juga ada ritual yang biasa dilakukan masyarakat Dayak” Ungkap Masimpei, Mantir Adat Tangkahen.
Menurut Masimpei, dimulai dengan Menenung atau Menenong yaitu meminta petunjuk dari alam semesta. Selama 2-3 hari, masyarakat berusaha mendapatkan tanda atau petunjuk mengenai lokasi yang tepat untuk membuka lahan.
Setelah mendapatkan petunjuk, dilanjutkan dengan ritual Ngariau, yaitu memotong ayam sebagai bentuk permohonan izin kepada makhluk gaib dan untuk memulai pembangunan permukiman. Ritual ini dipimpin oleh seorang Pisur, pemimpin upacara adat.
Ritual Manyanggar dilakukan sebelum membuka lahan atau ladang. Tradisi ini melibatkan pemberian sesajen untuk meminta izin masuk ke lokasi yang akan dibuka. Proses ini mencakup menebang pohon untuk membuka lahan bagi pertanian sebelum bermukim.
Dilanjutkan dengan pasang Ancak adalah ritual tolak bala yang dilakukan saat membangun rumah baru. Dengan menancapkan tanaman pisang sebagai simbol, masyarakat berharap terhindar dari segala marabahaya.
“Ketika pertama nunggal atau tanam padi dilakukan ritual Upun Binyi (tangkal benih)” Ujar Masimpei
Saat pertama kali menanam padi, ritual Upun Binyi atau tangkal benih dilakukan. Padi ditanam dan dipagar menggunakan kayu, serta setiap jenis padi diberi nama. Pengetahuan tentang nama-nama padi dianggap penting agar panen melimpah dan terhindar dari hama serta gangguan makhluk gaib.
Sebelum padi ditanam, dilakukan ritual Memapas atau membersihkan lahan dari marabahaya dan gangguan roh jahat. Ritual ini melibatkan pemotongan ayam dan doa-doa untuk membersihkan area pertanian dari energi negatif.
Setelah berbagai ritual tersebut dilakukan dan lahan siap digunakan, masyarakat mulai membangun rumah dan fasilitas lainnya. Namun, karena berbagai alasan seperti perubahan kondisi alam atau kebutuhan lain, tempat tersebut sering kali ditinggalkan dan menjadi Kaleka. Kaleka yang terbentuk ini tidak hanya menjadi bukti fisik dari keberadaan masyarakat, tetapi juga menjadi simbol penghormatan terhadap tradisi dan leluhur.
Penulis: Alma
Editor: Joko dan Aris