K.P. SHK

Jawet Bawi Rotan Yusnita

“Sejak saya kecil, Ibu sudah membuat kerajinan tas rotan. Dan sekarang saya yang melanjutkan.”

Kenyataan menyebutkan, kerajinan rotan sudah berkembang lama di beberapa daerah penghasil rotan. Seperti pernyataan di atas, bukan hal mustahil kerajinan rotan berkembang dengan adanya kebiasaan turun-temurun dari keluarga-keluarga di masyarakat di Kalimantan Tengah. Jawet Bawi, sebuah koperasi kerajinan rotan yang berkembang dari usaha sampingan keluarga, masih ada hingga sekarang sejak mulai dirintis pada tahun 1960-an.

“Koperasi ini jatuh bangun, sekarang mau dibilang koperasi, bukan. Karena saya saja yang menggerakkan, tapi badan hukumnya tetap koperasi. Saat ini ada 9 orang perempuan yang saya latih menganyam,” tutur Yusnita (50 th), pengelola Jawet Bawi, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah (1/10).

Koperasi Jawet Bawi yang unit usahanya khusus kerajinan rotan awalnya bukan merupakan koperasi binaan Dinas Perdagangan, Perindustrian dan Koperasi Kalimantan Tengah (Disperindagkop). Namun untuk beberapa aktivitas promosi pemberdayaan usaha kecil menengah, yang merupakan program Dinasperindagkop Kalimantan Tengah, Jawet Bawi satu-dua kali mendapat bantuan berupa mesin jahit dan ikut serta dalam pelatihan-pelatihan.

“Secara resmi Jawet Bawi tak pernah disebut koperasi binaan Pemda. Kalau ada pameran produk kerajinan daerah, nasional atau di luar, Dinas pinjam barang untuk dipamaerkan. Dan tak hanya Dinas, LSM WWF saja sering beli kerajinan di sini untuk dipamerkan,” jelas Yusnita.

Bantuan-bantuan Pemda yang diterima Jawet Bawi terkadang tidak sesuai kebutuhan. Jawet Bawi pernah mendapat bantuan mesin jahit selama berdiri hingga sekarang. Bantuan ini tidak banyak membantu. Karena ada beberapa hal yang lebih penting untuk pengembangan usaha yang sulit didapat dari Disperindag.

“Mesin jahit, kami pernah dapat. Tapi tak banyak membantu. Karena mesin jahit biasa. Mengolah hingga menganyam, di sini masih manual. Tapi yang sulit, modal. Saat ini saya atas nama pribadi untuk pinjam modal,” terang Yusnita.

Daya produksi Jawet Bawi dapat mencapai 12 jenis barang (item-red) berbahan baku rotan dalam setahun. Produksi setiap item Jawet Bawi mencapai tidak lebih dari seratus buah per item, kecuali ada pesanan khusus.

“Usaha ini dulu berawal dari jual kipas rotan, kemudian ke tas rotan hingga barang-barang cinderamata lainnya. Model tas modern, kami tidak produksi banyak. Mahal di biaya produksi dan keterbatasan alat. Jahitan akhir untuk tas saja saya harus ke Jogja (Yogyakarta-red), ke Balai Besar Kerajinan,” keluh Yusnita.

Keterbatasan permodalan dan alat menjadi kendala dalam peningkatan produksi kerajinan Koperasi Jawet Bawi. Selain itu, pemasarannya masih mengandalkan cara mulut ke mulut. Hingga saat ini Koperasi Jawet Bawi hanya menjual produk kerajinan tas rotannya di Kota Palangkaraya saja. Harga tas rotan dari Jawet Bawi maksimal Rp.150.000 per item tas dengan keuntungan tidak lebih dari Rp.25.000.

“Selama ini masarin dari mulut ke mulut. Tak berani jual ke luar kota. Untuk tas ini saja saya produksi 10 buah. Dalam 3 tahun baru tinggal 2 tas,” tukas Yusnita sambil menunjukkan tas rotan moderen bertuliskan Kalimantan Tengah. (tJong)

Leave a Reply

Lihat post lainnya