Turunkan Emisi, Habisi Hutan Gambut
Indonesia sepakat untuk menurunkan emisi karbonnya hingga 700 juta metrik ton hingga 2020. Seperti dilansir the Jakarta Post (9/12), pernyataan ini diungkapkan Ketua Harian Sekretariat DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim), Rahmat Witoelar, dalam acara press briefing di gedung Bella Center pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB ke-15 (COP 15- UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark.
Untuk mencapai target komitmen Pemerintah tersebut, Mantan Menteri Lingkungan Hidup tersebut menyebutkan, Pemerintah akan melakukan tindakan segera menyetop kebakaran hutan dan lahan yang terjadi dalam setiap tahunnya.
Dalam beberapa pertemuan tingkat nasional menjelang COP 15-UNFCCC, DNPI yang sempat melakukan studi sektor tentang emisi karbon dioksida, ditengarai 45% emisi karbondioksida berasal dari sektor kehutanan yaitu dari kebakaran hutan dan gambut.
Komitmen Pemerintah Indonesia dalam COP 15 UNFCCC tersebut sangat relevan dengan temuan studi sektor oleh DNPI sendiri. Walau, selayaknya perlu memperhatikan kondisi di nasional dan lokal. Kebijakan sektor berkenaan dengan alihfungsi lahan dan hutan masih jauh dari kepentingan penurunan emisi karbon di nasional dan lokal. Seharusnya, secara politik komitmen internasional tentang penurunan emisi hingga 700 juta metrik ton harus didasari oleh kebijakan sektor.
Saat ini sektor kehutanan dan perkebunan tidak memperhatikan secara serius di tingkat kebijakan. Beban kerusakan hutan dari kebakaran hutan dan lahan terutama di hutan gambut lalai dari penegakan kehutanan yang baik. Upaya untuk memenuhi komitmen 26% penurunan emisi dari penanganan kebakaran hutan harus serius diikuti perubahan kebijakan kehutanan dan pertanian terutama perlunya penyetopan pembukaan gambut untuk hutan tanaman industri dan perkebunan sawit.
Tebang Habis Sebelum 2012
Kejadian baru-baru ini tentang keterlanjuran Pemerintah mengeluarkan ijin pembukaan hutan gambut bagi Perusahaan HTI untuk pulp dan kertas di Riau berbuntut pada pembuktian lemahnya Pemerintah menyetop kerusakan hutan gambut karena alihfungsi. Prahara RAPP (Riau Andalan Pulp Paper) dengan masyarakat di Semenanjung Kampar dan sekitarnya, dengan dalih tidak bisa dicabutnya ijin pembukaan hutan gambut bagi RAPP, Pemerintah telah melakukan pembiaran kerusakan hutan gambut di Riau, padahal pembukaan tersebut menuai protes masyarakat dan ketidaksetujuan Pemerintah Daerah setempat. Pemerintah Daerah menyarankan perlu peninjauan ulang ijin RAPP di wilayahnya.
Penurunan hingga 700 juta metrik emisi karbon Indonesia dari kebakaran hutan dan lahan harusnya dipikirkan mulai sekarang dengan tindakan konkrit. Kasus RAPP adalah bukti komitmen Indonesia seperti bualan saja di internasional. Apakah ini cara mengelabuhi dunia dengan tindakan ‘tebang habis kayu hutan gambut’ sebelum ada aturan dari hasil komitment negara-negara di COP 15-UNFCCC tentang REDD (reducing emission from deforestation and degradation).
Cadangan perluasan HTI hingga akhir tahun 2014 (Dephut, 2008) seluas 5,4 juta hektar. Artinya, akan ada pembabatan hutan untuk pasokan bahan baku kertas dan pulp akan meningkat sebelum adanya kesepakatan baru hasil UNFCCC di Kopenhagen yang menurut Dodi S Sukardi dari DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) salah satu agenda UNFCCC ke-15 adalah menyepakati aturan baru dunia menjelang berakhirnya masa kerja Protokol Kyoto dalam Seminar tentang Kehutanan Masyarakat dan Perubahan Iklim di Hotel Pangrango II, Bogor (19/11).
Hingga saat ini kebutuhan kayu untuk kertas dan pulp, 75% masih dipasok dari hutan alam (LEI, 2009). Dan tidak mungkin tidak 5,4 adalah wilayah baru ijin-ijin pembukaan baru hutan alam untuk pemenuhan industri kertas yang di Indonesia pabriknya dikuasai oleh dua perusahaan raksasa HTI dan Kertas yaitu APP (Asian Pulp Paper) dan RAPP.
Dengan begitu, layak bila komitmen penurunan emisi karbon sampai 26% hingga 2020 dari sektor hutan yang disampaikan Pemerintah di COP 15-UNFCCC adalah bualan belaka.