K.P. SHK

Ijin Berada di Lahan Maya

Konflik sosial karena tumpang tindih klaim atas kawasan rawa gambut merupakan dampak dari tidak adanya kejelasan status penguasaan lahan dalam satu kawasan. Sebagian besar berpendapat karena belum terjadi pembaruan agraria (pengaturan penguasaan, pengelolaan dan distribusinya).

Dari beberapa kasus tumpang tindih peruntukan kawasan hutan yang dikonversi untuk HTI dan yang dilepaskan menjadi lahan perkebunan sawit, status penguasaan lahannya maya, hanya berdasarkan peta peruntukkan dari Departemen Kehutanan (Direktorat Jenderal Planologi) yang didasari oleh tutupan hutan dan data satelit (jarang dilakukan penyesuaian di lapangan atau ground check), serta berdasarkan rekomendasi dari Badan Pertanahan Nasional, yang antara Departemen Kehutanan dan BPN basis petanya berbeda.

Kondisi tersebut telah dimanfaatkan oleh perusahaan pengaju ijin HTI dan HGU beroperasi lebih dulu di lapangan sebelum ada keputusan amdal (analisis dampak lingkungan) HTI dan ijin penetapan HGU. Tak jarang, ditemukan adanya perkampungan masyarakat atau wilayah desa, habitat biodiversitas tinggi yang tergusur oleh operasi HTI dan pembangunan perkebunan. Hingga konflik antara pengaju HTI atau HGU dengan masyarakat (adat), orang utan, gajah, harimau, dan hidupan liar lainnya menjadi penurunan fungsi sosio-ekologi kawasan yang laten.

PT. Perkebunan Nusantara VII beroperasi di Sumatera Selatan dengan cara melakukan penyerobotan tanah milik masyarakat Desa Rengas, Ogan Ilir, selama 27 tahun (dari 1982) untuk perkebunan tebu, dan tanah milik masyarakat Desa Sidomulyo, Banyuasin selama 12 tahun (dari 1996) untuk perkebunan sawit. Ini terungkap saat masyarakat dari dua desa tersebut melakukan protes beberapa waktu lalu (28/12) kepada Pemprov dan BPN Sumsel. Konfirmasi dari pihak PTPN, bahkan mengiyakan hampir seluruh perusahaan perkebunan di Sumsel tidak memiliki ijin HGU termasuk perusahaan swasta.

Di Kabupaten OKI (Ogan Komering Ilir), dalam lima tahun terakhir, lahan rawa gambut yang diklaim masyarakat di 6 desa berdasarkan hak asal-usul masyarakat Melayu Riding Rambai nyaris lenyap digusur oleh perusahaan pengembang perkebunan sawit dan hutan tanaman industri, yang menyebabkan sebagian besar masyarakat di desa-desa tersebut kekurangan sumber pangan dari pertanian sonor yang terhenti selama proses penyelesaian konflik (2005-2009).

Ingkari Janji Sudah Biasa
Pertemuan antara wakil petani dari dua desa yang sedang mengadukan penyerobotan lahan garapan mereka selama 27 tahun oleh PTPN VII di wilayah Sumsel (29/12), dari laporan WALHI Sumsel (6/1), Gubernur tidak menepati janji datang ke dua desa tersebut seperti diberitahukan Asisten I Gubernur pada waktu lalu untuk menyelesaikan persoalan petani Desa Rengas dan Desa Sidomulyo, Ogan Ilir, yang sedang bersengketa dengan PTPN VII.

Ingkar janji Gubernur Sumatera Selatan, Alex Nurdin tersebut bukan hal luar biasa. Kesibukan kepala pemerintahan seperti gubernur, bupati, dan kepala pemerintahan lainnya sangat dimakfumi khalayak. Urusan menyelesaikan sengketa lahan antara petani dengan perusahaan (negara atau swasta), sepertinya terkesan tidak begitu genting. Padahal persoalan sengketa penguasaan lahan adalah persoalan dasar dalam pengaturan wilayah pemerintahan, semisal sengketa batas wilayah administrasi kabupaten antara Kabupaten OKI dan Kabupaten Banyuasin yang berada di Desa Perigi Talang Nangka tentang 22.000 ha lahan rawa gambut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya