Oleh: Harianti (Srikandi ICS)
Penulisan Profil SHK (Sistem Hutan Kerakyatan) Hutan Adat Bukit Parambo diperlukan pemaparan lebih mendalam mengenai dinamika sosial-budaya-ekonomi dan adat istiadat masing-masing komunitas dalam mengelola wilayah kelola SHK. Potret ekonomi dari reportase komunitas ini langsung disampaikan oleh pelaku di sekitar Hutan Adat Bukit Parambo.
Harianti, Srikandi ICS (Wahana Konservasi Masyarakat) yang mendampingi Aftrinal dari KpSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) 15-21 Januari 2015, memotret satu sisi ekonomi komunitas di Hutan Adat Bukit Parambo, berikut hasil reportasenya kepada KpSHK.
Masyarakat Jorong Sungai Landeh, Sarik Taba dan Jorong Kampuang Dalam mayoritas penunjang ekonominya adalah petani, dalam bahasa minang disebut basawah dan bakabun (ladang/kebun).
Pada umumnya mereka hampir setiap hari mengerjakan kegiatan-kegiatan yang sama, pada pagi hari ketika ibu rumah tangga siap (selesai) masak mereka langsung ke parak/kasawah dan pada saat sholat zuhur mereka pulanhg kembali kerumah.
Hari libur kerja dari basawah & bakabun bagi masyarakat di tiga jorong tersebuat adalah hari Rabu, di karenakan pada hari tersebut merupakan hari balai (pasar) dan mayoritas kaum ibu membeli kebutuhan pokok rumah tangganya di balai tersebut, pengeluaran untuk kebutuhan tersebut biasanya rata-rata Rp.300.000,- per minggu selain beras.
Di Jorong Sarik Taba pada umumnya hanya menekuni satu mata pencaharian basawah atau ke parak, di Jorong Kampuang Dalam ada sebagian ibu-ibu yang membuat kerajinan rumah tangga berupa tas yang dihiasi dengan biji-bijian seperti manik-manik yang berasal dari tumbuhan di sekitar Bukit Parambo.
Menurut Harianti, harapan masyarakat di kawasan Bukit Parambo, apabila Bukit Parambo sudah benar-benar disahkan oleh Bupati menjadi Hutan Adat maka kelompok-kelompok tani di kawasan tersebut bisa dibina dan diberi dana penguatan modal usaha dan memperoleh bantuan bibit untuk di tanam sekitar Bukit Parambo sehingga bisa memperkuat ekonomi mereka di masa depan. (inal)