K.P. SHK

Hutan Tanaman Komersil di Jawa dan Papua

Langkah Ngawur Pendanaan IFC

Target dari pengembangan hutan tanaman untuk penyedia bahan baku kertas dan pulp di lahan krirtis yaitu semisal kawasan ilalang dan kawasan rendah emisi karbon lainnya seluas 250.000 hektar untuk Indonesia oleh program IFC (International Finance Coporation) dari Bank Dunia seperti dilansir media (Kompas 18/11) adalah sangat tidak bijak.

Apalagi lokasi program yang menjadi target pengembangan program tersebut adalah Papua dan Jawa. Melalui otonomi khusus, pemerintahan daerah di Papua memiliki kebijakan kehutanan khusus yang mengarah kepada pengelolaan hutan secara adat atau hutan adat, yang kawasan hutannya masih berupa hutan alam.

Sementara di Jawa, eksploitasi lahan dan hutan secara komersil sudah berlangsung lama. Sejak abad 17 hingga sekarang, hutan tanaman komersil sudah dikembangkan di Jawa. Saat ini hutan tanaman di Jawa diusahakan oleh badan usaha negara, Perum Perhutani, yang diatur dalam undang-undang khusus. Tidak kurang dari 34 juta hektar kawasan hutan di Jawa dikuasai Perhutani yang hampir setengahnya terbengkalai, terutama sejak maraknya “pemanenan illegal” yang melibatkan banyak pihak termasuk oknum-oknum Perhutani di 1997. Dan hingga sekarang konflik lahan dan hutan di Jawa antara Perhutani dan masyarakat sekitarnya masih tingggi, dalam 10 tahun reformasi tidak kurang dari 300-an kasus kekerasan terjadi di kawasan hutan.

Identifikasi Kawasan dengan Benar

Departemen Kehutanan via Fay (2002) menyebutkan 56% kawasan hutan di Indonesia dalam kondisi coinside atau tumpang tindih klaim antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat lokal (adat). Kondisi ini sangat memungkin pelaksanaan program atau pembangunan kehutanan apapun menuai konflik kawasan yang berkepenjangan. Selama ini konflik kawasan mengalami pembiaran yang menahun.

Registrasi kawasan kelola rakyat yang pernah dilakukan KpSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) bersama organisasi jaringan masyarakat adat dan masyarakat sipil di Indonesia (2005) menyebutkan 16 juta hektar wilayah kelola rakyat berada dalam kawasan hutan negara. Pemanfaatan dari luasan tersebut oleh masyarakat sebagai kawasan untuk produksi (semi komersil) dan fungsi lindung.

Hingga kini pemerintah daerah dan pusat, terutama Departemen Kehutanan tidak dapat mengidentifikasi kawasan hutan yang kritis. Penyebutan kawasan ilalang sebagai calon target program hutan tanaman komersil IFC perlu penjelasan lebih lanjut. Hutan dalam kenyataannya tidak hanya berupa tegakan pohon, di beberapa pulau di Indonesia, hutan ilalang atau yang juga sering disebut savana dan rawa gambut sangat luas berada di 5 kepulauan nusantara yaitu Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Nusatenggara.

Pendanaan IFC Ngawur

Melalui penyediaan 75-200 juta dollar Amerika, pengembangan hutan tanaman komersil dengan target 250.000 hektar (serupa program Hutan Tanaman Industri Rakyat-HTR, demi pengentasan kemiskinan), dan akan dilaksanakan di kawasan hutan yang kritis, dalam penyebutannya akan dilakukan di kawasan ilalang, pendanaan ini justru akan meningkatkan pelepasan emisi karbon dari sistem pembukaan hutan dengan api (slash and burn) yang masih dipraktikkan dalam industri hutan tanaman komersil, pembukaan kanal-kanal baru di kawasan rawa gambut, dan memicu peningkatan kebakaran lahan dan rawa gambut, serta meningkatkan konflik kawasan (status penguasaan lahan dan hutan).

Walau tujuan pendanaan ini sangat mulia yaitu bagaimana memenuhi kebutuhan bahan baku kertas dari pemanfaatan lahan kritis dan mengutamakan peran masayarakat sekitar dan dalam hutan untuk mendapatkan nilai tambah ekonomi. Selama belum ada kejelasan kawasan ilalang yang dimaksud dalam skema pendanaan IFC dan kejelasan status penguasaan lahan dan hutan, langkah pendanaan ini ngawur.

Leave a Reply

Lihat post lainnya