Pemerintah indonesia merencanakan kawasan hutan di perbatasan akan dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Menurut menteri kehutanan di media bahwa pengelolaan kawasan di perbatasan bisa dilakukan dengan berbagai skema, termasuk membuka areal perkebunan, jika wilayahnya datar dan tidak curam.
Pemerintah melalui kementerian kehutanan akan melakukan inventarisasi, dan menentukan alokasi lahan hutan di perbatasan yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan perkebunan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 3/2012 tentang rencana tata ruang Kalimantan. Berdasarkan ketentuan tersebut, wilayah Kalimantan akan dikembangkan sebagai lumbung energi, pusat perkebunan kelapa sawit, dan karet. Selain itu, Kalimantan juga dijadikan hasil hutan berkelanjutan dengan tetap mempertahankan luas kawasan hutan minimal 45 persen.
Pengamat Hukum Internasional Hikmahanto Juwana menjelaskan kepada media bahwa ada tiga isu besar yang tidak saling terkait di balik merebaknya isu perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat.
Pertama adalah isu penentuan titik perbatasan meski antara Indonesia dengan Malaysia telah mengadopsi dan mengakui Perjanjian antara Inggris dan Belanda 1891 namun di sejumlah titik masih belum disepakati dan terdapat saling klaim. Saling klaim ini disebut sebagai Outstanding Bounndary Problem (OBP), setidaknya ada 10 titik OBP di perbatasan Kalimantan yang salah satunya disebut sebagai OBP Tanjung Datu. Dalam OBP Tanjung Datu ini terdapat dusun yang dinamakan Camar Bulan. Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Kedua terkait dengan Tanjung Datu adalah bergesernya patok-patok oleh warga Indonesia sendiri. Terdapat lebih dari 19.000 patok antara Malaysia dan Indonesia. Beberapa oknum melakukan penggeseran untuk mengelabui patroli yang dilakukan oleh otoritas Indonesia agar kegiatan seperti illegal logging (pembalakan liar) tidak terlihat.
Isu ketiga, adalah ketidak puasan warga di perbatasan yang merasa diabaikan oleh pemerintah Indonesia. Meski tidak langsung terkait dengan sengketa tumpang tindih antara Indonesia dan Malaysia, diduga, di Tanjung Datu warga ada yang terdorong untuk menggeser patok-patok di desa mereka agar wilayah mereka masuk wilayah Malaysia dan karenanya mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik.
Camar Bulan memiliki acuan dasar hukum yang jelas. Yaitu, peta Belanda Van Doorn tahun 1906, peta Samba Borneo buatan Belanda, dan peta Peta Federal Malay State tahun 1935 yang dibuat antara Belanda dan Inggris. Peta-peta tersebut lengkap dengan titik dan patok pembatas.
Kemudian, ada MoU Border Commete 1976 Kini Balu yang dilanjutkan dengan Border Comeete 1978 Semarang, yaitu MoU antara pemerintah Indonesia dan Malaysia. Ternyata, posisi patok tersebut sekarang telah berubah dengan kurang lebih 3,3 kilometer. Di Tanjung Datuk indonesia kehilangan 800 meter garis pantai. Jadi di satu sisi hilang hampir 1.500 hektar di Camar Bulan, di sisi lain kehilangan garis pantai (Republika, 2011).
Wilayah Tanjung Datu dan Camar Wulan merupakan satu Outstanding Boundary Problems (OBP) atau masalah batas negara antara Indonesia dengan Malaysia. Kawasan tersebut dihuni 1.883 penduduk atau 493 kepala keluarga. Luas wilayahnya sekitar 4.750 kilometer persegi.
Kementerian Pertahanan RI mengatakan untuk wilayah perbatasan darat sektor barat Indonesia (Kalimantan Barat) dan Malaysia (Serawak) ada lima OBP yakni Batu Aum, Sungai Buan, Gunung Raya, D.400 dan Tanjung Datu.
Untuk sektor timur Indonesia (Kalimantan Timur) dan Malaysia (Sabah) terdapat lima OBP yaitu Pulau Sebatik, Sungai Sinapad, Sungai Semantipal, B2700-B3100 dan C500-C600.
Pencaplokan wilayah Indonesia oleh asing disebabkan ketidakmerataan pembangunan dan perhatian yang timpang dari pemerintah, ketidakmerataan jelas terlihat pada perbatasan yang bersifat darat, bagaimana tingkat dan kualitas hidup masyarakat sangat berbeda antarnegara yang saling berbatasan.
Pembangunan yang tidak merata membuat potensi wilayah setempat justru dimanfaatkan oleh negara lain yang berbatasan langsung, ketidakmerataan pembangunan berarti pula ketidakmerataan pendidikan, dan ekonomi. Masyarakat di wilayah perbatasan dipasung hak-haknya berkreativitas dan kemampuan mengelola potensi yang dimiliki. Hal ini tidak akan terjadi kalau masyarakat setempat diberikan hak-haknya untuk memanfaatkan potensi yang ada di wilayahnya secara optimal, seperti mengolah hasil hutan bukan kayu.
Lembaga-lembaga yang konsen pada daerah hutan perbatasan ini adalah TNI, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, pemerintah daerah, dan investor swasta.
(inal)
Perlu untuk didiskusikan :
– ancaman Konversi Hutan Perbatasan terhadap Sistem Hutan Kerakyatan (SHK).
– rekomendasi yang tepat dalam rangka strategi untuk menolak Konversi Hutan Perbatasan.
Untuk menyelamatkan SHK dengan memasukkan prinsip-prinsip SHK dalam pengembangan kawasan hutan perbatasan.