Salahkah ribuan warga Kecamatan Masurai, Kabupaten Merangin, bila secara mandiri memanfaatkan areal HPH (Hak Pengusahaan Hutan) terlantar dari sejak 15 tahun lalu menjadi kebun kopi rakyat? Peraturan dan perundang-undangan menjamin adanya pengusahaan dan pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan (terdapat dalam PP No.3 tahun 2008 jo PP No.6 tahun 2007, serta Permenhut No.49 tahun 2008 tentang Hutan Desa).
Dalam usulan Pemerintah Propinsi Jambi tentang Hutan Jambi yang didorong untuk menjadi areal percontohan REDD+ (2009), Hutan Lembah Masurai yang sebagian besar sudah ditanami kopi sejak 15 tahun lalu oleh masyarakat (saat ini sudah dalam masa produktif dan menjadi daerah penghasil kopi nomor satu Jambi), yang berada di Kabupaten Merangin diusulkan sebagai Pilot Area of Sumatera Forest Carbon Partnership antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Australia. Aturan yang menjadi acuan dari usulan Hutan Lembah Masurai untuk REDD+ tidak berbeda dengan praktik pemanfaatan Hutan Lembah Masurai untuk usaha produktif hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa tanaman kopi, yaitu aturan yang sama seperti disebut di atas.
Operasi gabungan polisi hutan dari Dinas Kehutanan Propinsi Jambi dan Dinas Kehutanan Kabupaten Merangin serta melibatkan pegiat LSM setempat yang melakukan pembakaran pondok huni dan pembabatan tanaman kopi produktif warga Kecamatan Masurai pada 2009 lalu sangat disayangkan dan menodai hak memperoleh penghidupan bagi masyarakat pinggir hutan. Dengan bermodal Surat Keputusan Bupati Merangin tentang pengusiran dan mendakwa warga Kecamatan Masurai sebagai orang pendatang (ilegal), operasi pengusiran dengan kekerasan dan pengrusakan ini telah menyebabkan kerugian berupa hilangnya 20 pondok huni dan 2 hektar tanaman kopi produktif bagi warga Masurai.
Hutan Kopi Desa
Perhutanan sosial sesuai PP No.3 tahun 2008 dan Permenhut No.49 tahun 2008 tentang Hutan Desa bertujuan untuk kesejahteraan dan partisipasi masyarakat pinggir hutan dalam pengelolaan kawasan hutan yang lestari dan memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat.
Dalam pasal 27, 28, 29 dari Permenhut No.49 tahun 2008 tentang Hutan Desa mengenai pemanfaatan Hutan Lindung dan Hutan Produksi untuk dikelola hasil hutan bukan kayunya oleh masyarakat, keberadaan kebun-kebun kopi yang meliputi kepemilikan kelola 4.000 keluarga warga Masurai lebih berpotensi mendapat ijin kelola Hutan Kopi Desa. Ini dibandingkan dengan rencana pengajuan Hutan Lembah Masurai sebagai areal pemanfaatan jasa lingkungan penyerap karbon, karena pada kenyataan REDD Plus belum jelas kompensasi ekonomi dan manfaat ekologinya bagi masyarakat setempat maupun bagi pendapatan daerah.
Pemerintah Kabupaten Merangin bahkan Pemerintah Propinsi Jambi seharusnya mempelajari lebih cermat dan tepat pemanfaatan kawasan hutan yang berupa Hutan Lindung dan Hutan Produksi terlantar yang merupakan bekas areal ijin HPH (Hak Pengusahaan Hutan) oleh PT. Ijapsin dan PT.Serestra yang mencakup 8.000 hektar untuk kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan masyarakat pinggir hutan sesuai tujuan dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.3 tahun 2008 jo Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007. Hak masyarakat mengelola kawasan hutan (Hutan Lindung dan Hutan Produksi) dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Kalau ini tidak terjadi berarti benar adanya ketimpangan pemahaman antara Pemerintah Pusat dengan Daerah soal pelaksanaan dari suatu aturan dan perundang-undangan.
Adakah bisa memperdebatkan dan memperhitungkan nilai pemanfaatan dari kawasan hutan terlantar yang terbukti dikelola warga Masurai yang secara ekonomi telah terbukti memberikan manfaat langsung kepada masyarakat melalui hasil hutan bukan kayu kopi dengan rencana pengajuan areal tersebut untuk sesuatu yang belum jelas manfaatnya secara sosial, ekonomi dan ekologi? Hanya pemerintahan yang buruk yang akan melakukan tindakan salah atas sengketa kehutanan di Lembah Masurai dengan cara menggusur kebun produktif hutan kopi demi REDD Plus.
LSM Pembakar Pondok Huni
Dugaan adanya keterlibatan langsung beberapa aktivis LSM dalam operasi pembakaran dan penebasan tanaman kopi warga Masurai oleh aparat polisi hutan dari Dinas Kehutanan Propinsi Jambi dan Dinas Kehutanan Kabupaten Merangin pada tahun 2009 sebagai tindakan polisionil harus diusut tuntas. Dalam sejarah penanganan sengketa kawasan hutan antara Pemerintah dengan masyarakat tidak ada aturan yang membenarkan warga sipil melakukan kekerasan terhadap warga sipil lainnya walaupun demi alasan partisipasi dalam pengamanan kawasan. Usut tuntas LSM pembakar pondok huni milik warga Masurai! (tJong)
di tempat kami ,lombok ntb,kami juga memfasilitasi pengelolaan eks hph oleh masarakat selama 12 tahun ini ,kegiatan fasilitasi tersebut kami lakukan secara swadaya,dan hasilnya masarakat sudah mendapatkan manfaat ekonomi ekologi dan terkalinnya kerjasama dan komunikasi dengan pemerintah kab-prop dn pusat,dan alhamduliilah itu bisa terjadi dan yang terpenting masarakat merasa aman dengan kegiatan mereka walaupun kami belum mengantongi ijin hkm,kami mau share informasi dan kerjasama dengan kalian.tims dodi