Pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007 (atau PP No.3 tahun 2008), Kementerian Kehutanan menerapkan Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR), yang dalam Rencana Tahunan Kehutanan Nasional (RKTN, 2009) perluasan HTR ditargetkan mencapai 500.000 ha per tahun.
HTR yang ditengarai saat ini mencapai luas 1,2 juta ha adalah salah satu dari kehutanan masyarakat selain Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Adat yang bertujuan untuk pengentasan kemiskinan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan dalam hutan. Program yang sejalan dengan penyediaan 9 juta ha lahan hutan yang kritis untuk program rehabilitasi lahan dan hutan (Dephut, 2006) ini ternyata tidak mudah diterima oleh masyarakat. Berbagai alasan seperti pendanaan, prosedur pengajuan, konflik lahan dan kelembagaan adalah kendala-kendala dalam pelaksanaannya di lapangan.
“Di Kabupaten Sorolangun saja HTR dicadangkan seluas 18.840 ha. Kami sudah mendapatkan SK dari Menteri. Sudah didapat SK, sekarang kami tak tau harus kemana dan bagaimana,” keluh Rahman, Ketua Kelompok Tani HTR dari Dusun Taman Bandung di Jambi (15/11).
Ungkapan wakil kelompok pengaju HTR di Taman Bandung tersebut sebagai bentuk kekesalan setelah SK HTR didapat oleh masyarakat, semua pihak khususnya unit kerja Kemenhut dan Pemda setempat lepas tangan. Masyarakat Taman Bandung telah menanyakan berkali-kali kepada dinas kehutanan setempat dan ke BP2HP, hanya mendapat jawaban, Pemda tidak memiliki anggaran untuk pengembangan HTR.
Pengajuan HTR Taman Bandung hingga keluar SK Menteri memakan waktu sekitar 6 bulan (SK menteri HTR-Taman Bandung didapat pada 26 Februari 2007). Hal ini terhitung cepat, karena pengajuan HTR-Taman Bandung didukung oleh program FLEGT (program Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa tentang pemberantasan illegal logging di Jambi dan Kalimantan Barat).
“Setelah proyek FLEGT habis, nasib HTR kami terkatung-katung, menunggu teman-teman LSM yang mau membantu kami untuk selanjutnya,” seru Rahman lebih lanjut.
Politisasi ijin HTR
Berbeda dengan pengalaman masyarakat Taman Bandung, pengalaman pelaksanaan HTR di Lampung sangat erat dengan kekuasaan politik setempat.
“Pengembangan HTR bergantung dengan kekuasaan politik lokal, di Lampung bupatinya sangat tertarik dengan HTR. Ada permainan ketua kelompok atau koperasi HTR atas restu bupati. Koperasi menganut prinsip jenggot, akar di atas. Ijin bisa didapat dalam dua hari,” tutur Buyung, pendamping kasus tumpang tindih areal HTR dengan areal yang ditetapkan KDTI /1999 (Kawasan Dengan Tujuan Istimewa) di wilayah adat lima marga di Lampung Barat.
Politisasi ijin HTR terjadi, karena berbagai alasan. HTR yang boleh diajukan secara pribadi dan secara bersama melalui koperasi tersebut disertai dengan BLU (bantuan lunak usaha) dimana hanya pengaju yang memiliki ijin kelola lebih dari 8 ha yang boleh mengajukan kredit. Politisasi ijin cenderung memberikan peluang kolusi antara ketua koperasi dengan pihak swasta atau bupati.
Tumpang-tindih dengan adat
HTR yang dikembangan di kawasan hutan produksi (HP) tidak selamanya sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Peta pencadangan HTR yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan terbentur peruntukan lahan dan hutan yang sudah ada sebelumnya. Tak jarang di beberapa tempat areal peruntukan lahan HTR berada di lahan atau wilayah yang sudah dikelola masyarakat dan pemukiman.
“Itu pencadangan HTR berada di lahan kami. Kami sudah tanam karet lama di tempat itu. Dan itu tanah adat yang sudah lama kami kelola,” ujar Rahman mengenai pencadangan HTR di Sorolangun menggusur tanah adat Bathin Sembilan.
Peta pencadangan peruntukan usaha kehutanan, HTI, HPH ataupun HTR dan Hutan Desa seharusnya melalui prasyarat “clear and clean”. Artinya secara kepastian hak atas tanah hutan, kejelasan tata batas dan pengukuhan kawasan hutan tidak ada masalah atau konflik tenurial.
“Pencadangan HTR ini tidak tegas dan jelas, karena di Lampung pun terjadi timpa-menimpa dengan kebun hutan yang sebelumnya pemerintah mengukuhkannya dengan KDTI,” jelas Buyung mengenai pencadangan HTR yang tidak clear and clean.
Pembangunan kehutanan masyarakat HTR menjadi rumit bagi masyarakat karena persoalan-persoalan dasar dan ketidaksiapan pemerintah daerah dan pusat melaksanakan kebijakannya. Pada akhirnya HTR menjadi problematika baru bagi masyarakat pinggir hutan dan dalam hutan walaupun secara peluang pengelolaan hutan oleh masyarakat sangat terbuka. (tJong)
HTR tdk terserap. HTI berlipat2.
700 Ribu Hektare untuk Hutan Rakyat
http://www.tempo.co/read/news/2011/12/02/090369634/700-Ribu-Hektare-untuk-Hutan-Rakyat