Mencontoh Kegagalan di Sektor Perkebunan Sawit
Peluang rakyat untuk mengelola kawasan hutan dalam satu dekade ini mulai terbuka. Hutan Tanaman Industri Rakyat (HTR) adalah salah satu peluang tersebut. Dua atau tiga tahun lalu, sejalan dengan Program Pembaruan Agria Nasional, Departemen Kehutanan menyediakan 6 juta hektar kawasan hutan yang kritis untuk masyarakat miskin, 3 juta hektar untuk industri.
Fay (2005) menyebutkan pemerintah pada kenyataannya hanya benar-benar menguasai 11% kawasana hutan negara, sementara 52%-nya adalah kawasan hutan negara yang coincide (bertepatan) dengan klaim-klaim dari masyarakat lokal (adat).
Mengacu pada temuan Fay, HTR dapat dianggap sebagai solusi pemerintah meredam klaim-klaim masyarakat atas kawasan hutan negara (hutan produksi). Pertama, ketidakmampuan pemerintah mengurus dan menguasai seluruh kawasan hutan negara (klaim negara) terjawab oleh HTR, dengan membuka emansipasi rakyat dalam pengurusan kawasan hutan. Kedua, pemerintah tidak membutuhkan biaya besar untuk melakukan rehabilitasi kawasan hutan yang rusak akibat kesalahan masa lalu, dimana para pemegang ijin HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri) banyak melakukan pelanggaran dan kejahatan. Dan ketiga, HTR menjadi alat peredam konflik antara industri HTI dengan masyarakat lokal (adat), dimana saat ini banyak pihak mulai menawarkan model kemitraan di sektor hutan tanaman di kawasan non konsesi.
Di satu sisi HTR yang harus di kawasan hutan tidak dibebani hak (ijin) baik bagi peningkatan emansipasi rakyat dalam pengelolaan kawasan hutan, namun di sisi lain akan menuai kritik, terutama berkenaan dengan pengakuan hak bawaan (asal-usul) atas kawasan hutan dalam perspektif masyarakat adat. Masyarakat adat masih memandang pemerintah belum sepenuhnya mengakui hak bawaan atas kawasan hutannya sekalipun di kenyataannya, praktik-praktik pengelolaan dan kepemilikan adat masih berlangsung. HTR bukan jawaban bagi klaim adat (terutama di masyarakat masih kuat memegang aturan adat-istiadatnya, masyarakat adat yang tertutup).
Industri Rakus Lahan
Dua industri besar Indonesia berbasis kawasan hutan yaitu Hutan Tanaman Industri untuk Pulp-Kertas dan perkebunan sawit (kawasan hutan yang dilepaskan menjadi HGU-Hak Guna Usaha). Kedua industri ini ditengarai industri yang rakus lahan. Di beberapa tempat di Sumatera semisal Jambi, Sumatera Selatan, dan Riau, kedua industri ini saling bersaing seolah-olah berebut lahan, walau perkebunan sawit lebih mudah mendapatkan lahan karena perolehan ijinnya di bawah kewenangan bupati.
Aturan dan skema HTR yang belum tersosialisasi dengan baik dan luas, di beberapa tempat dimanfaatkan sebagai alat penyelesaian konflik kawasan oleh kalangan tertentu terutama oleh pelaku industri dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Yang cukup marak adalah di Sumatera (Jambi dan Riau). Kontrol pemerintah dalam hal ini jelas, bagaimana HTR menjadi alat peredam klaim atas kawasan hutan dan tidak mendatangkan konflik baru. Walau hanya sekadar penamaan (naming), HTR kemitraan adalah adopsi dari sistem perkebunan sawit pola kemitraan yang gagal (konflik perkebunan sawit ditengarai muncul dari pola ini, Jefri Saragih, Sawit Watch, mencatat 570 kejadian konflik di perkebunan sawit dalam rentang dua tahun belakangan ini ). Hendaknya semua pihak harus lebih jeli belajar.(tJong)