K.P. SHK

Harga Dolar Naik, Rotan Tetap

Pelaku rotan, salah satunya ada yang disebut pengumpul. Tugas pengumpul adalah membeli rotan dari petani kemudian menjualnya kembali kepada pedagang besar di Kota Samarinda atau Banjarmasin, untuk rotan-rotan mentah asal wilayah Sungai Kedang Pahu, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sejak 2005, pengumpul rotan di Kutai Barat bisa langsung berhubungan dengan pembeli dari luar negeri, semisal pembeli dari China.

Johan (63 th), pengumpul rotan ternama di Kabupaten Kutai Barat. Sejak 80-an, pengumpul yang memiliki tiga gudang rotan besar di Kutai Barat dan Samarinda ini sudah berkecimpung dengan perdagangan rotan.

“Saya sudah lama di usaha ini. Sejak harga rotan sekilo satu dolar (pada tahun 80-an satu dolar Amerika masih seribu rupiah-red). Sekarang rotan tidak ikut naik seperti dolar. Sekilo masih seribu, dolar sudah hampir 10 ribu rupiah,” tutur Johan di gudang rotannya, di Kecamatan Damai, Sendawar (22/3).

Terpuruknya harga dan usaha rotan menurut Johan karena beberapa hal, yaitu berkurangnya tenaga muda tani untuk mengambil rotan di kebun, biaya pengolahan rotan mentah siap kirim bertambah mahal, pungutan resmi dan tak resmi dalam pengiriman rotan masih berlangsung.

“Rotan di sini ditanam. Pemerintah walau orang kita, tetap saja jeruk makan jeruk. Aturan soal pungutan masih berlaku padahal sudah berkali-kali usul untuk hapus. Masih ada 13 pos pungutan,” keluh Johan mengenai masih belum berubahnya kebijakan pemerintah berkenaan adanya pungutan pajak dan ijin angkut rotan dari gudang ke luar daerah.

Lain halnya dengan Johanes (44 th), Ketua Pelaksana Harian P3R (Persatuan Petani dan Pengumpul Rotan) di Damai Seberang menyebutkan, “Dua kali kenaikan BBM di Megawati dan sekali di SBY, petani dan pengumpul malas usaha rotan. Biaya makin mahal, harga tidak naik. Petani beralih jadi buruh sawit.”

Belum adanya perubahan kebijakan pungutan tarif dan ijin angkut juga dikeluhkan Sahadi, Kepala Sub Bidang Pengelolan Hasil Hutan, Dinas Kehutanan Kutai Barat di Sendawar. Orang Dinas Kehutanan yang mantan LSM di Samarinda ini mengeluhkan tidak adanya sinkronisasi perubahan kebijakan antara Departemen Perdagangan dengan Kementerian Kehutanan, “Pada 2005 tarif rotan sampai nol persen, ekspor mudah. Dan sekarang tidak lagi. Kami dari dinas sudah usul ke Pusat, rotan di Kubar hasil budidaya dan bukan di kawasan hutan, jadi tak perlu ada pungutan.”

Leave a Reply

Lihat post lainnya