K.P. SHK

Gambut Tidak Boleh Dikonversi

“Sekarang saya membuat aturan, berapa pun kedalaman gambut tetap tidak boleh dikonversi!”

Seluruh lahan gambut yang tersisa tidak boleh diubah fungsinya sekalipun kedalamannya di bawah 3 meter. Ketentuan sebelumnya, kedalaman lahan gambut di bawah 3 meter boleh dikonversi untuk budidaya. ”Dulunya kedalaman gambut kurang dari 3 meter boleh dikonversi. Namun, sekarang saya membuat aturan, berapa pun kedalaman gambut tetap tidak boleh dikonversi,” kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan kepada wartawan, Selasa (1/2), dalam acara Komunikasi Publik ”Riset Menjawab Tantangan Perubahan Iklim: Implementasi REDD+ di Indonesia”. Zulkifli mengatakan, saat ini hanya tinggal tersisa 8 juta hektar lahan gambut. Seluas 12 juta hektar sudah dikonversi untuk berbagai fungsi, termasuk perkebunan sawit. Permintaan para pengusaha untuk mengonversi lahan gambut dan wilayah hutan alam sekarang meningkat. Menurut Zulkifli, hal tersebut dipicu naiknya harga berbagai komoditas perkebunan, seperti sawit, kopi, dan cengkeh. (Kompas, 02/2/11).

Jejaring sosial SHK-list (02/2/11) mengangkat berita ini, “Dukung langkah tegas Menhut! Sekarang saya membuat aturan, berapa pun kedalaman gambut tetap tidak boleh dikonversi”(inal), beberapa linkers mengomentari “Menarik!. Tapi apakah Menhut melarang ‘konversi’ atau sebenarnya melarang ‘pemanfaatan/penggunaan’. Kalau yangg kedua maka akan ada dampak pada masyarkat (adat) yg sudah sejak lama tinggal dan bermata pencaharian di daerah gambut (masyarakat gambut). Saya memahami kebijakan ini sebagai cara paling ‘murah’ mengurangi emisi karbon utk Indonesia. ‘Menyelamatkan’ gambut akan secara signifikan mengurangi emisi karbon kita tanpa harus mengurangi jumlah industri atau memperbaiki tekonologi industri kita atau mengubah tata kota (e.g.Jakarta) secara signifikan atau mengurangi pemakaian bahan bakar. Pendek kata emisi berkurang tanpa mengurangi volume ekonomi dg resiko sosial minimal. Tapi yg jadi ‘korban’ adalah masyarakat gambut karena mungkin harus keluar dari wilayah kehidupannya atau setidaknya mengubah cara hidupnya. Jika yg dimaksud Menhut adalah “melarang pemanfaatan/penggunaan” apa pendapat teman2?” (ade cahyat).

“Yoi Ade, kekhawatiran kita disitu, akan ada ribuan desa di rawa gambut akan tergusur kalau moratorium rawa gambut tidak tepat. Kemenhut harus tau betul mana kawasan hutan rawa gambut. Sepertinya kawasan hutan rawa gambut adalah rawa gambut yang memiliki kedalaman lebih 1 meter-3 meter, dibawah 1 meter sudah jadi APL di beberapa propinsi di Sumatera”. (tJong).

“Sepakat dgn Bung Ade. Dukungan saya kepada Menhut, sesuai dengan maksud Bung Ade ‘melarang konversi’. Pernyataan tegas ini, satu2nya cara untuk memblokir pengusaha2 hutan memanfaatkan celah2 untuk terus mengkonversi lahan bahkan rawa gambut, lihat apa yg dilakukan PT.RAPP dan konco2nya PT. Sumatera Riang Lestari (SRL), PT. Sumatera Silva Lestari (SSL) dan PT. Lestari Unggul Makmur (LUM) di wilayah Provinsi Riau”. (inal).

Ada indikasi persoalan yang berat dihadapi untuk melakukan moratorium lahan gambut adalah menghentikan pembukaan lahan-lahan diluar pengaturan resmi. Hal yang sering berkaitan dengan proses yang berkaitan dengan hak-hak penguasaan lahan oleh masyarakat. Sebuah keadaan yang sebenarnya yang berkaitan langsung dengan hubungan antara pemanfaatan lahan gambut dengan pengurangan kemiskinan. Berdasarkan kondisi ini, diusulkan pemerintah daerah yang mempunyai lahan gambut diharapkan dapat menyusun strategi pembangunan yang memberi tempat pada inisiatif-inisiatif komunitas (masyarakat) untuk pengembangan kawasan-kawasan produktif secara bijaksana. Strategi pembangunan yang memberi tempat pada pengembangan inisiatif masyarakat yang didukung langsung oleh pemerintah. Dengan cara ini, teknologi untuk pemanfaatan lahan gambut juga dapat dikembangkan berbasis pada masyarakat. Selanjutnya, inisiatif-inisiatif tersebut secara kreatif dihubungkan dengan program-program pemerintah, dan aksi-aksi nyata dari lembaga-lembaga bukan pemerintah. Artinya, moratorium lahan gambut perlu dikemas menjadi salah satu kegiatan pembangunan yang direncanakan sejalan dengan pengurangan kemiskinan. (Semiloka Pemanfaatan Gambut Berkelanjutan untuk Pengurangan Kemiskinan dan Percepatan Pembangunan Daerah. IPB–International Convention Center, Bogor 28/10/10).

“Yang perlu diwaspadai adalah bujukan2 para pengusaha sawit untuk ikut2an mengatasnamakan demi kesejahteraan rakyat”. (inal).

Rancangan Instruksi Presiden (Rinpres) tentang Penundaan Pelayanan dan Penerbitan Izin Baru pada Hutan Primer dan Sekunder serta Lahan Gambut pada Kawasan Hutan dan Area Penggunaan Lain (APL), harus segera diterbitkan sebagai Inpres Moratorium, agar tidak terus dipengaruhi oleh para pengusaha HTI dan pertambangan yang malah berdalih Rinpres ini hanya pesanan asing.

Rawa gambut adalah ruang hidup bagi orang rawa gambut. Aktivitas untuk keberlanjutan kehidupan orang rawa gambut bergantung kepada kelestarian dan ketersediaan sumber-sumber penghidupan di rawa gambut. Pengelolaan kawasan rawa gambut yang baik oleh semua pihak (pemerintah, masyarakat dan swasta) menjadi jaminan untuk tetap berlangsungnya kehidupan (sosial, ekonomi dan budaya) di rawa gambut. Adanya kebijakan Pemerintah tentang desentralisasi kehutanan, konversi hutan dan rawa gambut untuk perkebunan dan pertambangan, serta yang baru-baru ini tentang adanya moratorium (suspensi) rawa gambut berkenaan dan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan yang dimulai di awal tahun 2011 tidak mungkin tidak akan memberikan pengaruh bagi keberlanjutan kehidupan orang rawa gambut. (KpSHK, 2011).

Tantangan dan dampak pembangunan bagi ruang hidup orang rawa gambut tersebut dalam perspektif pembangunan berkelanjutan, keberimbangan informasi dan komunikasi dalam segala bidang kehidupan di rawa gambut menjadi kunci utama bagi semua pihak untuk mencari solusi yang terbaik bagi persoalan-persoalan yang muncul karena adanya perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan di kawasan rawa gambut, termasuk kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan REDD Plus di wilayah-wilayah kabupaten dan propinsi yang memiliki kawasan rawa gambut luas. (KpSHK, 2011).

Riau, Jambi dan Sumatera Selatan adalah 3 propinsi yang memiliki kawasan rawa gambut luas di Sumatera dan ketiganya termasuk dalam 9 propinsi yang disiapkan untuk (PPPR) Provincial Pilot Project REDD (mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan). Walau belum ada kepastian propinsi-propinsi rawa gambut Sumatera tersebut menjadi pilihan, namun pembangunan kawasan yang condong pada pembangunan wilayah berbasis mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (khususnya sektor hutan dan rawa gambut), kesiapsiagaan partisipatif dari orang rawa gambut terhadap kecenderungan tersebut menjadi penting dan segera. Hal ini karena masih banyaknya persoalan-persoalan dasar ekonomi, sosial dan ekologi di kawasan rawa gambut yang belum tersentuh dalam skema pembangunan kawasan rawa gambut berbasis mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh semua pihak terutama pemangku kepentingan perencanaan pembangunan. (KpSHK, 2011).

Leave a Reply

Lihat post lainnya