K.P. SHK

FSC dan Janji Pemulihan Sosial: “Jangan Sampai Tinggal Janji”

Remediasi sosial adalah sebuah proses pemulihan atau perbaikan atas dampak sosial yang ditimbulkan oleh kegiatan bisnis, terutama yang telah menyebabkan kerugian terhadap hak-hak masyarakat lokal, masyarakat adat, atau komunitas terdampak lainnya. Dalam konteks kehutanan, remediasi ini menjadi krusial saat perusahaan mengubah fungsi hutan alam seperti menjadi kebun monokultur, jalan, atau area tambang yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat sekitar.

Dokumen “Kerangka Kerja Perbaikan Sosial” merupakan pedoman resmi untuk memastikan proses remediasi dilakukan secara adil, transparan, dan partisipatif. Dokumen ini adalah hasil konsensus antara berbagai pihak: organisasi masyarakat sipil, akademisi, masyarakat adat, pemerintah, hingga sektor swasta. FSC sendiri adalah sistem sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan yang kini menuntut perusahaan kehutanan tidak hanya memperhatikan aspek lingkungan, tetapi juga tanggung jawab sosial atas dampak masa lalu.

Remediasi dalam panduan FSC bukan sekadar kompensasi, melainkan kerangka kerja perbaikan sosial menyeluruh mulai dari pengakuan hak adat, pemulihan penghidupan, akses terhadap sumber daya, hingga jaminan partisipasi masyarakat dalam proses perbaikan. Dengan latar belakang ini, masyarakat diharapkan bukan hanya menjadi penerima dampak, tapi juga menjadi aktor utama dalam menentukan keadilan dan masa depan wilayahnya.

Perusahaan kehutanan yang pernah mengubah hutan alam menjadi kebun, tambang, atau jalan kini tak bisa lepas tangan begitu saja. Mulai 2025, mereka diwajibkan menempuh jalur remedi sosial, sesuai dengan Panduan Kerangka Kerja Perbaikan Sosial Forest Stewardship Council (FSC). Dokumen setebal hampir seratus halaman ini disusun bersama oleh LSM, akademisi, masyarakat adat, pemerintah, hingga perusahaan. Isinya tegas: perbaikan harus adil, transparan, dan melibatkan mereka yang paling terdampak.

Namun, pertanyaan kritis muncul: apa benar masyarakat bisa merasakan perubahan dari panduan ini?

Safrin dari Suku Sakai tak menutup kekecewaannya. Ia berkata:

“Dulu kami berburu kijang di hutan, sekarang hewannya hilang. Kami protes karena kebiasaan kami ikut hilang. Kami ingin panduan ini betul-betul angkat hak tradisional kami dan perbaiki ekonomi kami.”

Panduan FSC ini memberi peluang besar bagi pemulihan hak-hak seperti milik Safrin mulai dari budaya, akses sumber daya, hingga penghidupan. Namun prosesnya butuh pengawalan kuat agar tak berhenti di meja rapat.

Hartono Prabowo, Direktur Teknis FSC Indonesia, menegaskan bahwa sertifikasi kehutanan tak bisa hanya soal kayu:

“Perubahan paradigma penting: dari menebang pohon ke melihat nilai hutan secara sosial dan ekologis. Jangan rusak area bernilai tradisi dan High Conservation Value (HCV). Jangan pakai bibit Genetically Modified Organism (GMO). Jangan lakukan konversi diam-diam.”

Ia menambahkan bahwa pelanggaran seperti konversi tanpa izin, hilangnya hak adat, atau penggunaan genetik ilegal bisa membuat perusahaan dikeluarkan dari skema FSC.

Menurut Mangarah Silalahi, Sekjen FKKM, panduan ini bukan hanya panduan teknis:
“Ini dokumen hidup. Disusun bersama, diuji di Jambi, Riau, dan Kalbar, melalui FGD dan konsultasi dari masyarakat hingga serikat pekerja. Kami ingin memastikan semua yang terdampak punya suara.”

Ia juga menyebutkan sembilan fokus penting yang wajib diperkuat dalam konteks Indonesia, termasuk penerapan FPIC, identifikasi kerugian sosial, dan ambang batas penyelesaian yang realistis.

Emil Ola Kleden, peserta dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), mengingatkan bahwa proses tak boleh bertele-tele:
“Kata ‘remediasi’ saja orang kampung belum paham. Kami butuh tahu kapan mulai, kapan selesai, dan kami dapat apa. Perusahaan dan masyarakat harus duduk satu meja.”

Isu komunikasi dan transparansi menjadi kunci keberhasilan. Tanpa itu, program pemulihan akan sulit diterima secara sosial.

Prof. Dr. Ir. Prudensius Maring, M.A., akademisi yang terlibat dalam penyusunan, menjelaskan:
“Panduan ini kombinasi legal formal, kebijakan, dan akademis. Penyusunan substansinya berbasis empirik, dengan pendekatan identifikasi langsung masyarakat terdampak.”

Mereka yang dulu kehilangan tanah, budaya, atau sumber penghidupan akibat konversi hutan bisa mendapatkan keadilan jika panduan ini diterapkan dengan benar.

Elim Sritaba dari Grup APP mengonfirmasi bahwa perusahaannya siap mengadopsi panduan ini:
“Kami uji coba framework ini di 22 perusahaan. Kami juga siapkan panduan ‘health check’ agar operasional berjalan baik.”

Namun tanpa pengawasan masyarakat sipil, janji ini bisa cepat dilupakan. Apalagi proses perbaikan sosial bisa berlangsung bertahun-tahun.

Panduan FSC bukan sulap. Tak bisa kembalikan hutan yang sudah gundul, tapi bisa jadi alat negosiasi dan pemulihan. Kunci utamanya: partisipasi, keadilan, dan kesepakatan yang setara. Bukan hanya perusahaan yang wajib berubah, tapi juga pemerintah dan masyarakat sipil yang wajib mengawasi dan menjaga proses ini tetap berada di jalurnya.

Penulis: Alma
Editor: JW

Leave a Reply

Lihat post lainnya