Cara penyelesaian sengketa berkembang secara seolah-olah sebuah kontemplasi. Tiba-tiba muncul menjadi sesuatu yang terpaksa populer. Padahal tidak demikian. FPIC (Free, Prior, Informed and Consent) yang sering disebut-sebut sebagai hak sekaligus cara penyelesaian konflik, saat ini menggema seolah obat mujarab tiada tandingannnya dalam konteks konflik perkebunan kelapa sawit.
Uji coba penerapan FPIC di beberapa tempat seperti yang menjadi tema pertemuan “Sharing Upaya-Upaya Menerapkan FPIC di Indonesia” yang dihadiri para pegiat LSM, masyarakat lokal dan masyarakat adat telah sedikit menurunkan pengalaman yang cukup beragam. Acara yang diselenggarakan oleh Scale Up, LSM di Riau yang bergelut dalam penyelesaian konflik perkebunan, dilaksanakan selama dua hari di Hotel Grand Zuri, Pekan Baru (10/10).
“Penerapan FPIC dalam penyelesaian konflik perkebunan seperti penerapan Hukum Jual Beli. Semua didasari MoU (Memorandum of Understanding), dan negosisasi terjadi di situ, ” jelas Ahmad Zazali, Direktur Scale Up, yang merupakan salah satu pelaksana uji coba nilai-nilai FPIC dalam penyelesaian konflik perkebunan di tiga lokasi di Riau.
Uji coba FPIC di Indonesia yang dipaparkan dalam pertemuan tersebut menyangkut FPIC sebagai penyelesaian konflik perkebunan, pengenalan nilai-nilai FPIC dalam penyusunan standard minyak sawit berkelanjutan (P&C RSPO-Rountable for Sustainable Palm Oil), penerapan dalam penyiapan masyarakat tentang REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation).
Tujuan akhir pertemuan di Hotel Grand Zuri, Pekan Baru ini untuk mendapatkan posisi organisasi masyarakat sipil, masyarakat adat dan masyarakat lokal tentang uji coba penerapan FPIC di sektor perkebunan dan REDD. Sehingga hasilnya akan dibawa ke pertemuan selanjutnya tentang Forest Dialogue yang saat tulisan ini diturunkan sudah berlangsung.
Forest Dialogue dimana acara ini akan membahas FPIC antar para anggotanya yang terdiri dari perusahaan perkebunan global, investor, organisasi masyarakat sipil internasional-nasional. Tidak ada posisi yang ditawarkan sebagai hasil pertemuan berbagi pengalaman uji coba FPIC di Indonesia. FPIC secara metodologi baru diperkenalkan pada 2005 di Indonesia.
Petikan penting dari hasil uji coba FPIC dalam sengketa perkebunan sawit dari pengalaman Scale Up, Gemawan (LSM dari Kalbar), Setara (LSm dari Jambi), yang ketiganya menjadi narasumber, ternyata ada perbedaan mencolok. LSM pelaku uji coba FPIC yang ditunjuk atau menunjuk diri menjadi mediator (pemediasi) konflik perkebunan sawit terkena sindrom ‘mediator berpihak pada salah satu pihak’.
“Soal FPIC ini masuk perundingan mengacu ke pasar modal, ke IFC Bank Dunia. Mereka selalu main kata-kata. Padahal kami hanya tuntut hak waris tanah kami,” tambah salah seorang wakil masyarakat adat Bathin Sembilan tentang sengketa Suku Anak Dalam dengan PT. ACP-Jambi, perusahaan Group Wilmar.
Pernyataan masyarakat tersebut mengandung pesan, pengenalan FPIC kepada masyarakat (adat) terutama dalam beberapa uji FPIC di Indonesia harus memenuhi kaidah-kaidah FPIC yaitu bebas, tanpa paksaan, terinformasikan dengan baik sehingga masyarakat dapat mengambil keputusan yang tepat. Kalau tidak FPIC melampaui istilahnya, dan masyarakat hanya mengenal kata asing yang mudah diucapkan sulit ditebak maknanya. FPIC! (tJong).