Demokratisasi pengelolaan sumberdaya hutan berjalan setengah hati dan tidak semulus yang didambakan, yaitu terjadinya devolusi (pengembalian hak kelola hutan kepada rakyat). Sejak dilaksanakannya otonomi daerah (otonomi pemerintahan) sebagai dorongan masyarakat sipil di Indonesia, justru kerusakan hutan semakin meningkat dan tidak terkendali. Puncak deforestasi terjadi di awal-awal pelaksanaan otonomi daerah yaitu antara 1999-2003, dimana laju deforestasi mencapai 3,4 juta ha/tahun (menurut Departemen Kehutanan, 2008, laju degradasi hutan mencapai 2,85 juta ha/tahun).
Dengan alasan demi peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), sebagian besar pemerintah kabupaten mengeluarkan ijin penebangan kayu, mengalihfungsikan kawasan hutan untuk perkebunan besar sawit (hingga 2004, Departemen Kehutanan telah melepas seluas 5,4 juta ha kawasan hutan untuk lahan pertanian yang ditengarai akan ditarik kembali, Departemen Pertanian 2009) dan pertambangan (bahkan ada indikasi pembiaran terjadinya pembalakan liar). Sehingga pada 2004, Menteri Kehutanan melakukan penertiban ijin pengusahaan hutan atau kayu di beberapa daerah semisal di Sumatera (Lampung, Jambi dan Riau). Pada tahun yang sama, tak kurang dari 300-an ijin HPH (hak pengusahaan hutan) dibekukan dan hanya 100-an ijin HPH yang diperbolehkan beroperasi untuk seluruh Indonesia.
Sementara itu, otonomi daerah tidak pula memberikan dorongan bagi peningkatan emansipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan (sebagai pengganti UUPK No.5 tahun 1967), Pemerintah hanya mampu memberikan ijin HKm (Hutan Kemasyarakatan, seluas 8.164,26 ha kepada petani hutan di 6 kabupaten (Temanggung, Lampung Utara, di seluruh Indonesia yang peluncurannya disahkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, di Yogyakarta pada Desember 2007, padahal target pemberian ijin HKm kepada petani hutan seharusnya sudah mencapai 400.000 ha pada tahun ini (2009), target hingga 2012 harus mencapai 2,1 juta ha.
Setyarso (2009) menyebutkan, isu lahan hutan (kawasan hutan) dan pengelolaannya terkendala oleh konflik laten yang tidak kunjung terselesaikan, semisal tenurial, transformasi politik atas kebijakan nasional, dan gerakan ekonomi global. Fay (2002) menyebutkan 56% kawasan hutan secara coincide (bersamaan) berada dalam klaim negara dan masyarakat lokal (adat). Konflik tenurial kehutanan yang disebut Setyarso adalah 56% kawasan hutan negara dalam klaim masyarakat lokal (adat).
Sejalan dengan pencanangan Program Pembaruan Agraria Nasional (2006), Departemen Kehutanan menggulirkan program serupa yaitu Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dimana kelompok masyarakat miskin dapat memperoleh ijin untuk mengelola kawasan hutan produksi (terbatas) yang kritis. Target Pemerintah hingga 2015, HTR sudah mencapai 5,4 juta ha dari 6 juta ha (Departemen Kehutanan) yang dicadangkan (total 9 juta ha, 6 juta ha untuk masyarakat miskin, 3 juta ha untuk perusahaan HTI pendamping, dan Pemerintah menyediakan skema kredit dari dana reboisasi-DR). HTR berada dalam kawasan hutan produksi (terbatas) yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin.
Pemerintah menargetkan perluasan HTI (hutan tanaman industri) hingga 2009 seluas 5 juta ha, dan telah menyebabkan perluasan pembukaan hutan alam untuk industri kayu dan pulp-kertas. LEI (2009) menyebutkan, industri kehutanan (meubel kayu dan pulp-kertas) 70% masih dipasok dari kayu hutan alam, meningkat 10 % dari tahun-tahun sebelumnya (Kartodiharjo, 2001).
Reformasi Tanpa Perubahan
Sejak dilancarkannya pembangunan “wilayah hutan politik” di Jawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda dimana ditandai dengan pembentukan Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan), Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Peraturan Pemangkuan Hutan di Jawa dengan pendekatan “penguasaan oleh negara” (anonim via Siskawati, 2007).
Penguasaan sumberdaya hutan oleh negara sudah dilakukan sedari Pemerintahan Hindia Belanda. Pada 1870 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan sebuah peraturan Do meinverklaring dimana tanah hutan (forestland) yang tidak dibebani hak privat menjadi domain negara dengan pengelolaan menggunakan konsep “kehutanan modern” (Jawatan Kehutanan Hindia Belanda untuk pengaturan hutan di Jawa dan Madura menggunakan konsep sistem blok (petak), mengadopsi konsep Bruinsma di Jerman, Simon 2001).
Dengan demikian, konsep hutan negara dan hutan rakyat sudah berkembang sejak Hindia Belanda, yang hingga kini masih menjadi pemahaman utama Pemerintah Indonesia (Menteri Kehutanan, MS Kaban dalam kata sambutannya di Pertemuan Nasional Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat, di 2008, masih menyebutkan hutan yang berada di lahan yang tidak dibebani hak milik adalah hutan negara, yang dibebani hak milik adalah hutan rakyat, Naskah Undang-Undang No.41 tahun 1999).
Hak menguasai negara atas sumberdaya alam yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 Ayat 3, telah menjadi dasar lahirnya berbagai kebijakan sumberdaya alam (sumberdaya hutan) dalam tiga periode besar sejarah kehutanan pasca kemerdekaan, kehutanan orde lama, orde baru dan reformasi.
Pengaruh politik aliran di masa orde lama telah menyeret perbedaan pandangan pengelolaan hutan di masa ini. Soepardi (1974) menyebutkan muncul perdebatan aliran lama dan aliran baru dalam kehutanan di masa 1945-1950. Aliran lama berpendapat hanya negara yang mampu menjaga keseimbangan pemanfaatan hutan untuk tujuan ekonomi dan ekologi (fungsi ekonomi hutan bagi kepentingan negara). Aliran baru bersiteguh, pengelolaan hutan harus bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat. Pada Konggres Kehutanan I (1955), konsep hutan rakyat mulai diperdebatkan.
Pergantian kekuasaan politik dari Orde Lama ke Orde Baru (1967) menimbulkan konsekuensi baru bagi pengelolaan sumberdaya alam. Undang-Undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960 sebagai produk kebijakan Orde Lama yang sosialis dijegal pelaksanaannya hingga sekarang, dengan dua produk kebijakan Orde Baru yaitu Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 yang menyerahkan pengelolaan hutan dan kawasan hutan kepada pemegang ijin HPH/HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan/Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri), dan Undang-Undang No.11 tahun 1967 tentang Aturan Pokok Pertambangan, dimana salah satunya Pemerintah Orde Baru memberikan Kontrak Karya Pertambangan selama 60 tahun kepada Freeport.
Lahirnya dua kebijakan pengelolaan sumberdaya alam ini merupakan dampak dari desakan negara-negara kreditor bagi Indonesia yang saat itu Pemerintah Orde Baru yang menganut pola pembangunan yang mengandal pertumbuhan ekonomi, masuknya investasi modal asing. Dan dengan bermodalkan kebijakan ini, Departemen Kehutanan (pengganti Jawatan Kehutanan) menguasai tidak kurang dari 75% wilayah daratan Indonesia, yang ditengarai meliputi 143 juta ha kawasan hutan berhutan (untuk fungsi produksi/terbatas, konservasi dan lindung).
Tahun-tahun inilah (1960-1970) pembukaan hutan secara besar-besar terjadi di Sumatera dan Kalimantan, dimana saat itu dikenal dengan istilah “banjir kap”, kayu gelondongan hasil tebangan memenuhi sungai-sungai besar di Sumatera dan Kalimantan. Sehingga yang di Jaman Kolonial Hindia Belanda hingga tahun 1940-an ekspor kayu sebanyak 75% berasal dari Jawa, 10% dari luar Jawa menjadi berubah. Sumatera dan Kalimantan menjadi sumber baru kayu ekspor Indonesia tanpa harus menanam, terjadi eksploitasi hutan alam besar-besaran.
Saat Reformasi bergulir, persoalan tenurial kehutanan mencuat kembali. Dimana hampir di seluruh wilayah Indonesia, masyarakat lokal (adat) melakukan pengambilalihan kembali (reclaim) kawasan hutan yang semakin tahun semakin berkurang tegakannya (masa ini laju deforestasi rata-rata mencapai 2,8 juta ha/tahun). Dan atas desakan berbagai pihak (LSM, akademisi, peneliti, dan masyarakat lokal/adat), terjadi reformasi kehutanan. Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 direvisi menjadi Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999. Undang-Undang ini sekalipun tidak memuaskan banyak pihak, sudah memberikan peluang bagi partisipasi masyarakat untuk mengelola kawasan hutan (ijin kelola) yaitu melalui pemberian ijin Hutan Kemasyarakatan (HKm). Dan yang menjadi “pengganjal utama” hingga masyarakat adat meminta perlu ada revisi bagi UU No.41/1999 adalah soal definisi hutan adat dimana hutan adat dianggap sebagai hutan negara yang berada di wilayah ulayat masyarakat adat.
Forestrent Reform
Dorongan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan sudah sejak lama dilakukan oleh banyak kalangan (termasuk kalangan dalam Departemen Kehutanan), terutama oleh gerakan masyarakat sipil yang bergerak di sektor kehutanan.
Adanya bukti-bukti semisal Tumpang Sari (di Jawa), dan Tembawang (di Kalimantan Barat) di Era Kehutanan Hindia Belanda pada rentang tahun 1850-1870 adalah landasan historis gerakan kehutanan sosial di Indonesia. Apalagi di masa kuat-kuatnya Rezim Orde Baru (sentralisasi kehutanan) di tahun-tahun 1980-2000, gerakan kehutanan sosial mulai mengarah kepada perubahan kebijakan yang mewadai partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan (akses dan hak pengelolaan).
Dalam 10 tahun terakhir ini secara beruntun muncul kebijakan-kebijakan baru kehutanan yang justru mensiati devolusi (penyerahan pengelolaan hutan kepada rakyat secara mandiri) menjadi hak penyewaan kawasan hutan untuk masyarakat (konsepsi hutan negara masih teguh dipegang oleh kalangan kehutanan di Indonesia), yang menyamakan masyarakat dengan pelaku usaha kehutanan (pemegang ijin HPH dan HTI). Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 melahirkan Program HKm (Hutan Kemasyarakatan) dengan pemberian ijin kepada kelompok petani hutan selama 35 dan dapat diperpanjang hingga 100 tahun, Program HTR (Hutan Tanaman Rakyat), Program Hutan Desa dengan masa ijin yang sama yaitu 35 tahun dan dapat diperpanjang 100 tahun.
Ketentuan-ketentuan dari program-program tersebut dikukuhkan melalui diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007 atau yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No.3 tahun 2008 tentang KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan). KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) sendiri merupakan adopsi dari KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang dikembangkan Perhutani sebagai warisan sistem pengelolaan hutan dengan model petak (blok) yang diperkenalkan Bruinsma (1892) di Jawa di Era Jawatan Kehutanan Hindia Belanda.
Dengan memberikan perlakuan yang sama bagi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan dan hutan yaitu dengan cara memberikan hak sewa kelola kawasan hutan dan hutan seperti yang telah diberikan kepada pelaku usaha kehutanan (pemegang ijin HPH dan HTI), negara dalam hal ini pemerintah tidak pernah bergeming untuk melakukan reforma tanah hutan (forestland reform), tetapi memantapkan langkah untuk menyewakan kawasan hutan dan hutan yang lebih luas (forestrent reform). (tJong, dari berbagai sumber untuk materi Pelatihan ALAS-KPA).