Beberapa Alasan Ekspor Rotan Masih Perlu Dipertahankan
- Populasi rotan alam terbesar di dunia berada di hutan Indonesia ( 85% ) dan terdapat lebih dari 350-an species (jenis) rotan yang tumbuh di hutan Indonesia.
- Potensi produksi rotan di hutan Indonesia yang dapat dipungut secara lestari 690.000 Ton/Tahun, sedangkan kebutuhan industri mebel dalam negeri saat ini tidak lebih dari 40.000 Ton/Tahun. Penurunan pemakaian dalam negeri disebabkan oleh beralihnya ke penggunaan ROTAN IMITASI (SINTETIS) .
- Dari 350-an species rotan yang dihasilkan hutan kita, hanya 7-8 species saja yang dipergunakan oleh industri mebel rotan dalam negeri, itu pun hanya terbatas pada ukuran diameter tertentu dari 7-8 species ini terserap.
- Dari 300-an species rotan yang ada, tidak semua species rotan ini cocok dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan mebel, banyak species rotan (karena sifat/karakteristik) mempunyai kegunaan lain diluar mebel rotan.
- Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir ini, pemerintah telah memberi proteksi kepada pertumbuhan industri mebel rotan dalam negeri , dengan membuat berbagai kebijakan untuk menghambat ekspor rotan yang merugikan para petani,pengumpul,pekerja dan pengusaha bahan baku rotan yang berada di daerah penghasil rotan (luar pulau Jawa), namun industri mebel rotan tetap tidak berkembang, bahkan sebagian telah beralih ke industri mebel rotan imitasi yang justru ikut mematikan nilai ekonomis rotan alam kita sendiri.
- Kebijakan/peraturan pemerintah sejak tahun 1979 sampai dengan saat ini yang menghambat ekspor rotan Indonesia (penghasil 85% rotan dunia), telah mendorong para ahli dunia untuk menciptakan barang substitusi rotan (rotan imitasi/sintetis) yang akhirnya memukul nilai rotan alam kita sendiri. Ini akan berlanjut apabila para pengusaha rotan dan pemerintah tidak segera mempopulerkan kembali keberadaan rotan alam di dunia.
- Jika tidak segera dilakukan upaya penyelamatan rotan alam dengan mempopulerkannya kembali , yakni meng-ekspor species rotan yang tidak terpakai atau kelebihan rotan yang tidak terserap dalam negeri, maka dunia semakin cepat beralih mempergunakan rotan sintetik. Akibatnya negara akan mengalami kerugian karena rotan alam kita akan kehilangan nilai ekonomis, para petani-pengumpul-pekerja rotan di daerah penghasil kehilangan pendapatan.
Hambatan Pada Permendag No.36/M-DAG/PER/8/2009
Peraturan Menteri Perdagangan RI No.36/M-DAG/PER/8/2009 tanggal 11 Agustus 2009 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, selain untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan produksi rotan serta kepentingan petani-pengumpul- industri rotan di daerah penghasil, juga sangat menjaga ketersediaan bahan baku bagi industri mebel kerajinan rotan dalam negeri.
Namun demikian, terdapat beberapa ketentuan yang menghambat serta menghilangkan kesempatan kerja bagi petani-pengumpul-pengusaha bahan baku rotan di daerah penghasil, bahkan telah MEMATIKAN NILAI ROTAN ALAM kita. Hal ini dapat dilihat pada beberapa pasal dari Permandag 36/2009 sebagai berikut :
Pasal 2
(1). Rotan yang dapat diekspor :
- Rotan W/S jenis Taman/Sega/Irit (TSI) diameter 4/16mm.
- Rotan setengah jadi TSI dan Non-TSI (Rotan poles halus, hati dan kulit rotan).
(2). Rotan yang dilarang di ekspor :
- Rotan W/S bukan dari jenis rotan Taman/Sega/Irit (Non-TSI).
Ketentuan tersebut diatas telah menghilangkan nilai dari sebagian species rotan Indonesia, karena:
- Banyak jenis rotan alam Non-TSI dengan ukuran diameter yang sama bahkan diameter nya lebih kecil (2mm sd.8mm) tdk dapat diproses menjadi rotan poles/hati dan kulit rotan,tetapi hanya dapat diolah menjadi rotan W/S, namun tidak di-izin-kan di ekspor, pada hal hampir tidak terpakai di dalam negeri.
- Banyak species rotan tertentu (Non-TSI) yang hanya bernilai jual tinggi apabila diproses menjadi rotan W/S, sebaliknya menjadi tidak bernilai atau nilai jualnya turun apabila sudah diproses menjadi rotan poles dan hati rotan. Namun sesuai ketentuan Permendag No.36/2010 tidak dapat diekspor walaupun jenis rotan ini jarang terpakai di dalam negeri.
Hal tersebut diatas mengakibatkan species rotan ini KEHILANGAN NILAI . Ini sangat merugikan negara dan komoditi rotan kita serta menghilangkan kesempatan kerja para petani-pengumpul-pengusaha rotan di daerah penghasil.
Pasal 4
(2). Pengakuan sebagai ETR hanya diberikan kepada perusahaan yang berdomisili di daerah penghasil rotan.
Pasal 5
(8).Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) atas ekspor rotan disampaikan kepada kantor pabean dipelabuhan muat daerah penghasil rotan.
Ketentuan sebagaimana Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (8), telah menghambat usaha para pengusaha lokal UKM rotan didaerah penghasil rotan tertentu, karena :
- Usaha rotan di daerah penghasil tertentu di luar Jawa, pada umumnya dilakukan oleh para UKM yang bukan pemegang ETR (bukan eksportir), mereka tidak dapat melakukan ekspor dari daerahnya baik karena keterbatasan modal,pemasaran maupun sarana transportasi/pelabuhan ekspor.
- Tidak terdapatnya eksportir rotan (ETR) di daerah tersebut sehingga mereka sangat tergantung kepada para eksportir diluar daerahnya. Contoh : Rotan yang berasal dari Aceh, Pedalaman Kaltim, Sulawesi, Maluku, NTB dan pulau2 kecil lainnya.Kelancaran transportasi dari Aceh ke Jawa lebih mudah dibanding Aceh ke Medan atau Padang walaupun berada di satu pulau yang sama ; Kabupaten Berau/Kutai Barat/Kutai Kartanegara lebih mudah ke pulau Jawa dibanding ke Sampit dan Banjarmasin walaupun berada disesama pulau Kalimantan; Kabupaten Buton/Muna/Kabaena/Banggai/Buol lebih mudah ke pulau Jawa dibanding ke Palu dan Makassar walaupun berada di sesama pulau Sulawesi. Disamping itu para ETR daerah juga tidak mampu menampung rotan asalan produksi kabupaten tetangga itu karena mereka juga mempunyai sumber supply dari daerahnya sendiri.
- Ketentuan pasal 4 dan 5 tersebut diatas akan mengakibatkan tertutupnya industri pengolahan rotan yang berada di pulau Jawa (Pulau Jawa dianggap bukan daerah penghasil rotan walaupun kenyataannya di kawasan hutan di pulau Jawa terdapat belasan species rotan). Selama ini industri pengolahan bahan baku rotan di pulau Jawa merupakan tulang punggung peng-supply kebutuhan bahan baku rotan bagi industri mebel rotan di pulau Jawa terutama jenis olahan spesifik (kulit rotan, sanded-peel, hati rotan,pitrit FOC, OOC,FFC dan lain-lain), sehingga akan berdampak terhadap ketersediaan bahan baku bagi industry mebel rotan di dalam negeri (pulau Jawa). Dengan terhentinya supply beberapa jenis rotan spesifik seperti tersebut diatas, akan semakin mendorong para produsen mebel beralih untuk menggunakan rotan sintetik/plastik yang akhirnya akan mempercepat kehancuran nilai ekonomis dari rotan asli.
Ketentuan pasal tersebut diatas selain menimbulkan beban biaya yang tinggi, juga mengakibatkan terhentinya usaha yang digeluti oleh UKM rotan di daerah penghasil karena kehilangan pemasaran yang telah dilakukan selama ini.
Pasal 5
(3). Persetujuan ekspor rotan setengah jadi Non-TSI (quota ekspor) diberikan dengan pertimbangan
a. Bukti pasok oleh ETR kepada industri dalam negeri terhadap jenis rotan yang terserap dalam negeri atau “Bukti Wajib Pasok” Dalam Negeri.
b. Rekomendasi dari Dirjen BPK Departemen Kehutanan,terhadap jenis rotan yang tidak terserap di dalam negeri.
Dengan menurunnya pemakaian bahan baku rotan alam di dalam negeri yang disebabkan oleh beralihnya pemakaian ke rotan sintetis, mengakibatkan kesulitan bagi produsen rotan menjual rotan nya ke dalam negeri, padahal pemerintah membuat ketentuan pemberian quota ekspor harus ada “Bukti Wajib Pasok”.
Berhubung dengan menurunnya permintaan rotan alam di dalam negeri, maka kiranya persyaratan dalam pemberian quota ekspor seyogyanya tidak lagi dikaitkan dengan “Wajib Pasok” karena pemerintah pun tidak menetapkan adanya “Wajib Beli” baik kepada industri mebel rotan maupun kepada badan/institusi tertentu.
Selain hal-hal yang dikemukakan diatas, perlu mendapat perhatian adalah :
- Muncul image atau opini dikalangan luas bahwa selama ini rotan yang diekspor adalah merupakan “bahan mentah” yang tidak memiliki nilai tambah, padahal adalah rotan olahan berupa rotan W/S, Poles, Hati dan Kulit yang telah mempunyai nilai tambah sesuai tingkat proses nya, bukan hanya nilai tambah ekonomis tetapi juga nilai tambah sosial karena telah memberi kesempatan kerja yang luas di daerah penghasil bahan baku luar pulau Jawa.
- Banyak kesalahpahaman tentang kategori tingkat olahan rotan termasuk yang dimaksud rotan mentah,rotan olahan setengah jadi,mebel rotan atau end product rotan lainnya (contohnya gagang palu/martir dan gagang sapu serta tongkat atau walking stick yang terbuat dari rotan tidak dianggap sebagai end product karena berbentuk lurus, sebaliknya mebel yang terbuat dari rotan plastik dikategorikan sebagai mebel rotan). Sehubungan dengan hal ini,perlu ada definisi atau pemahaman yang jelas tentang rotan mentah,rotan olahan dan barang jadi/end product
- Tingginya pengenaan pajak ekspor sebesar 15% dan 20% dari Harga Patokan Ekspor (HPE) , akan memperlemah daya saing rotan alam Indonesia dalam menghadapi gempuran rotan imitasi dunia.
- Kampanye pemakaian rotan alam selain dilakukan dengan perluasan dan kemudahan ekspor rotan, kiranya dapat diposisikan rotan alam sebagai bahan ramah lingkungan, sebaliknya rotan sintetis yang terbuat dari plastik adalah tidak ramah lingkungan.
Demikian disampaikan Julius Hoesan
DEWAN PIMPINAN PUSAT ASOSIASI PENGUSAHA ROTAN INDONESIA (APRI)
memang sekarang kebutuhan akan rotan alam semakin menurun karena dengan semakin meningkatnya penggunaan bahan rotan synthetic. semoga dengan produsen furniture rotan seperti saya dapat meningkatkan kebutuhan akan rotan alam sehingga daerah penghasil rotan alam pun pertumbuhan ekonominya akan meningkat