K.P. SHK

Ekosida: Kejahatan Produk Politik

Eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam di Indonesia dimulai dengan pemberian hak kuasa (ijin) pengelolaan dari negara kepada pelaku industri besar. Pembukaan hutan untuk industri pengelolaan kayu dengan ijin HPH (Hak Pengusahaan Hutan), industri kertas dengan ijin HTI (Hutan Tanaman Industri), perkebunan skala besar sawit dengan ijin HGU (Hak Guna Usaha), dan pertambangan dengan ijin Kontrak Karya (sejenisnya), adalah pelaksanaan hak menguasai negara atas sumberdaya alam yang termaktub dalam UUD 45 pasal 33.

Departemen Kehutanan hingga tahun 1999 mencatat sekitar 600-an perusahaan HPH yang beroperasi dengan areal tebangan mencapai hampir 70 juta ha, di seluruh kawasan hutan alam Indonesia. Pada tahun yang sama, tercatat sebanyak 980 ijin pertambangan (kontrak karya, kontrak karya batu bara dan kuasa penambangan) yang sedang beroperasi dengan areal mencapai luas tidak kurang dari 90 juta ha, di seluruh wilayah Indonesia. Belum lagi ijin HTI dan HGU yang beroperasi sejalan dengan penerapan transmigrasi, sejak Rezim Orde Baru mulai menerbitkan perundang-undangan sebagai penerjemahan dari Hak Menguasai Negara (HMN) sesuai pasal 33 dari UUD 45.

Payung hukum (kebijakan) dari semua jenis beroperasinya pembangunan (eksploitasi) sumberdaya alam dapat dirunut dengan jelas. Operasi HPH dan HTI bersandar pada penerbitan Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967. Beroperasi ijin-ijin pertambangan besar (kuasa pertambangan, kontrak karya dan kontrak karya batu bara hampir seluruh di tangan perusahaan asing) bersandar kepada Undang-Undang No.11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Terlaksananya pola perkebunan besar yang sejalan dengan program transmigrasi nasional berpanutan kepada Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).

Pengelolaan sumberdaya alam dalam bungkus pembangunan tersebut hampir tidak ada pemulihan daya dukung lingkungan. Reboisasi sebagai jalan pemulihan dari usaha penebangan hutan untuk kayu melalui HPH, hingga menjelang kebangkrutan di sektor perdagangan kayu di tahun 2000-an, tidak ada bukti nyata hutan kembali rimbun mendekati kondisi sebelumnya. Begitu pun dengan HTI, hingga saat ini, harapan pemenuhan kayu untuk industri kertas dari hasil penanaman di areal-areal HTI juga jauh panggang dari api, kayu untuk kertas masih diambil dari hutan alam dengan prosentase yang meningkat. Bahkan di sektor pertambangan, adanya kewajiban perusahaan pertambangan untuk menutup kembali lubang-lubang bekas penambangan tidak pernah terealisir.

Belum lagi dampak-dampak pencemaran (udara, tanah dan air), penghilangan jenis tumbuhan dan satwa, penurunan kesehatan penduduk, pengrusakan habitat satwa dan tumbuhan endemik dari kegiatan-kegiatan perkebunan, pertambangan, dan kehutanan tersebut.

Ekosida, atau pemusnahan lingkungan hidup sebagai diskursus mutakhir, di Indonesia sudah terjadi dalam rentang waktu setengah abad lebih, walau tidak berawal dari penyebab semisal peperangan seperti halnya genosida (pemusnahan etnis/suku/bangsa). Ekosida di Indonesia berlangsung akibat produk politik (kebijakan) suatu negara atau pemerintahan.

Layaknya genosida yang merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan, ekosida adalah bentuk kejahatan dari penerapan produk politik atau kebijakan. Sebagai bentuk kejahatan tentu pelaku kejahatan ekosida adalah pembuat kebijakan (pemerintah) dan pelaksana kebijakan (perusahaan). Lalu indikator minimal yang bisa menjerat pelaku ekosida apa? Perangkat yang menangani pelanggaran atas hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) dan HAM adalah perangkat dari penanganan kejahatan atas lingkungan hidup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya