Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari berdasar Prinsip dan Kriteria FSC (Forest Stewardship Council) penting untuk keberlanjutan hutan Indonesia. Sertifikasi perlu dilakukan agar pengusahaan hutan di Indonesia tetap berlanjut dan merupakan tuntutan dari pasar kayu di Eropa dan Amerika.
Ada pengaruh dari luar yang kuat yaitu menguatnya perhatian dari negara-negara Eropa dan Amerika untuk mengamankan sumber-sumber hutan dan pengelolaan yang sustanaible dengan standar internasional.
Akan tetapi sulit untuk mendapatkan sertifikasi FSC bagi hutan di Indonesia, karena permasalahan yang kompleks dibandingkan hutan `temperate` (hutan empat musim), ada perbedaan yang sangat besar antara hutan di subtropis dengan hutan tropis, dan hutan di Indonesia mempunyai permasalahan yang kompleks, misalnya soal masyarakat yang berdiam di sekitar hutan sehingga ada hak masyarakat adat, isu sosial, dan isu ilegal loging.
Bagimana dengan hasil hutan bukan kayu yakni rotan? Non-Timber Forest Products – Exchange Programme for South and Southeast Asia (NTFP-EP), Aliansi Organis Indonesia (AOI), dan Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) telah menyelenggarakan workshop yang bertema “Perdagangan Rotan Indonesia dan Prospek Eko-Sertifikasi”, pada 6-7 Maret 2012 di CICO Resort, Jl. Tumenggung Wiradireja 216, Cimahpar-Bogor, Indonesia.
Thibault Ledecq dari WWF Laos, berbagi pengalaman soal sertifikasi rotan di Laos, Mathew John dari Keystone Foundation India memberikan pemaparan soal introduksi PGS dan skema eko-sertikasi rotan, dan Katherine Mana dari NTFP-Task Force berbagi pengalaman di Filipina hal Participatory Resource Monitoring NTFP (terutama rotan). Juga hadir dari CEO AOI Indro Surono menjelaskan soal perkembangan sertifikasi organik di Indonesia.
Dipaparkan sebelumnya soal perkembangan industri rotan di Indonesia oleh Ramadhani Achdiawan dari CIFOR, dan realitas praktek soal tantangan dalam pengelolaan rotan oleh Yohanis dari P3R, Kutai Barat-Kaltim serta Andrianus Sengkoi selaku Pengumpul/Pengusaha Rotan Kaltim.
Pembicara lainnya perwakilan dari Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementrian Perdagangan RI, menerangkan kebijakan dan perdagangan rotan di indonesia. Joko Pramono dari Direktorat Jenderal Bina PDAS dan Perhutanan Sosial, Direktorat Bina Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan RI, menjelaskan kebijakan pengembangan hasil hutan bukan kayu termasuk jenis rotan. Sementara Lisman Sumardjani dari Yayasan Rotan Indonesia menyoal prospek eko-sertifikasi pengusahaan rotan di indonesia di tengah kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan.
Peserta lainnya tampak hadir WWF Indonesia, ASFN, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), NTFP Indonesia / SETARA, Perkumpulan Telapak, POKKER-SHK Kalimantan Tengah, Kaban Foundation, dan Petani Rotan Kalimantan Tengah.
Workshop bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai dinamika perdagangan rotan di Indonesia maupun dunia, serta untuk memahami kecenderungan yang berkembang di kalangan konsumen seperti sustainable consumption dan mekanismenya melalui sertifikasi dan sistem penjaminan.
Rotan di indonesia sebagian besar diperoleh dari areal hutan tropis yang luasnya sekitar 26.7 juta hektar dari total 94 juta hektar hutan di indonesia. Hanya beberapa neagara saja yang memiliki hutan seperti di indonesia. Kecendrungan yang seharusnya terjadi adalah bahwa pengusahaan rotan dari hutan adalah pengusahaan komoditi yang berpotensi mencegah deforestasi dan degradasi hutan. Potensi ini berhubungan erat dengan kualitas pengelolaan rotan yang berkelanjutan. Faktanya sebagian besar dari pelaku pengusahaan rotan adalah masyarakat yang berada di sekitar hutan yang memegang peranan penting dalam kelestarian hutan.
Saat ini dunia usaha rotan di indonesia mengahadapi kondisi yang serius, antara lain volume dan nilai ekspor produk rotan begitu juga produksi bahan baku rotan terus menurun, munculnya produk substitusi rotan imitasi atau plastik. Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah kualitas produk rotan yang diekspor dan asal-usulnya, kualitas rotan mentah dan pelestarian sumber-sumbernya, serta kualitas pengelolaan rotan yang berkelanjutan dan hubungannya dengan pemeliharaan hutan belum menjadi hal yang dipertimbangkan.
Kebijakan yang menjadi pembicaraan para pihak rotan adalah tentang surat keputusan larangan ekspor bahan baku rotan yang mulai berlaku Januari 2012, keputusan ini merupakan rangkaian keputusan pelarangan dan pembebasan ekspor mulai 1979, 1986, 2004, 2005, 2009 sampai dengan tahun 2011. Kebijakan ini menjadi kontroversial dikalangan pegiat, petani dan industri rotande mi untuk memberikan kesempatan kepada industri furniture rotan dalam negeri meningkatkan nilai ekspor.
Trend penggunaan barang-barang yang diproduksi secara lestari. Khususnya terjadi di negara-negara barat, dimana konsumen lebih memilih untuk tidak menggunakan produk-produk yang berasal dari proses yang tidak lestari, dan ini kemudian menjadi demand pasar, yang menyebabkan para produsen menjadi lebih bertanggung jawab pada asal bahan baku yang mereka gunakan.
Undang-undang di Amerika memberlakukan pelarangan impor produk-produk yang berasal dari proses yang tidak lestari. Di Eropa, melalui rencana aksi Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGHT), pelarangan sejenis telah diberlakukan untuk ilegal logging dan kemungkinann dalam waktu dekat akan berlaku untuk bambu dan rotan.
Sertifikasi diperlukan karena beberapa alasan, konsumen menginginkan produk dengan kualitas tertentu, konsumen tidak dapat bertemu langsung dengan produsen (petani, pengumpul, pengarajin) yang menghasilkan produk, konsumen memerlukan penjaminan atas kualitas dari produk yang dibelinya. Sedangkan produsen memerlukan proses yang dapat menegaskan bahwa proses dan produk yang dihasilkannya memenuhi kualitas yang diinginkan konsumen dalam jangka waktu tertentu. Konsumen dan produsen sama-sama memerlukan sertifikasi sebagai penjaminan dan penegasan kualitas.
Forest Stewardship Council (FSC) telah memiliki standart internasional yang mereka gunakan untuk kayu, FSC memiliki standart baku untuk produk hasil hutan bukan kayu (HHBK). Tahun 2011, WWF Laos telah menggunakan standart ini dan mengembagkan panduan sistem pelacakan untuk rotan. WWF Laos telah berhasil memasarkan rotan bersertifikasi FSC ke negara Swiss.
Walau bagaimanapun, sertifikasi FSC ini mahal dan kemungkinan tidak layak untuk hasil hutan bukan kayu, dimana seringkali proses pemanenan dan pengelolaan komoditi berbasis kearifan masyarakat lokal.
NTFP-EP, AOI, dan KpSHK tertarik untuk menggali lebih jauh tentang alternative yang dapat memberikan nilai tambah bagi petani rotan dan sekaligus juga ini nerupakan upaya promosi dari proses pengoalahan dan pengelolaan rotan lestari indonesia.
Satu sistem yang akan digali adalah apa yang disebut sebagai Participatory Guarantee System (PGS) yang telah digunakan di dalam dan di luar negeri khususnya untuk produk pertanian organik. Hal ini diasumsikan tekhnologi menggunakan kearifan masyarakat, dan monitoring dilakukan oleh stakeholder, untuk memastikan bahwa proses produksi berjalan sesuai dengan prinsip berkelanjutan dan lestari. Sertifikasi dan sistem penjaminan adalah salah satu upaya untuk memastikan bahwa seluruh proses dihasilkan dari sistem yang berkelanjutan atau lestari.
(inal)
Ada pembaca budiman yang bertanya berikiut ini;
Saya eksportir home furnishing products yang berlokasi di Jogjakarta. Saat ini, salah satu konsumen saya dari Amerika Serikat tengah mencari produk dari rotan yang sudah tersertifikasi.
Namun saya kesulitan mendapatkan supplier yang dapat memproduksi barang dengan menggunakan bahan baku rotan yang sudah tersertifikasi.
Kira kira apakah Konsorsium pendukung Sitem Hutan Kerakyatan dapat membantu saya menemukan supplier produsen rottan yang sudah tersertifikasi dan layak ekspor?
Pembaca yg budiman,
Untuk sertifikasi produk hasil hutan bukan kayu diantaranya rotan belum ada di indonesia, kami baru saja mengusulkan ide ini dalam workshop bertema Eko-Sertifikasi Rotan bersama beberapa lembaga lain penggiat rotan yang dihadiri lembaga pemerintahan seperti kemenhut (Kemenetrian Kehutanan), dan kemendag (Kementerian Perdagangan), serta rekan kita dari Laos, India, dan Filipina awal Maret lalu.
Karena memang sertifikasi lestari produk rotan ini penting, atas permintaan konsumen (juga produsen) dunia yang menaruh perhatian pada keberlanjutan dan kelestarian rotan.
Produk bahan baku rotan yang sudah tersertifikasi baru dilakukan oleh rekan kita dari Laos, dan juga sudah dijajaki oleh rekan dari India. Jadi untuk indonesia kita masih baru memberikan usulan soal Rotan Lestari Indonesia.
Terimakasih atas perhatian & kecintaan pembaca pada rotan. Semoga sukses selalu.
Salam adil dan lestari.
Sahabat Petani dari Kendari, Sulawesi Tenggara bertanya;
Saya telah membaca rubrik yang telah bapak tulis mengenai Rotan ..
Sy tertarik & ingin mngetahui lebih jelas bagaimanakah prosedur untuk menjual Rotan hasil olahan saya sebagai petani ke AMKRI (Asosiasi Meubel & Kerajinan Rotan Indonesia)
Sahabat yang baik,
Terimakasih atas perhatiannya pada web kami http://www.kpshk.org soal rotan khususnya.
Kami bukan lembaga bisnis, kami sebagai pendukung petani rotan di daerah2 untuk terus maju. Serta terus dapat mengelola hutannya dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu terutama rotan.
Untuk jaringan bisnis kami berada diluar itu.
Terima kasih atas tulisan yang sangat menarik!
Namun saya mempertanyakan klaim bahwa ‘sertifikasi FSC ini mahal dan kemungkinan tidak layak untuk hasil hutan bukan kayu’. Soalnya banyak mitos mengenai “harga” sertifikat FSC. Juga ada banyak donor yang mendanai sertifikasi FSC di Indonesia, apalagi berbasis masyarakat. Dan dalam “sertifikasi kelompok” (Group Certification) petani-petani bisa gabung kelompok n semakin besar kelompok ini semakin murah proses sertifikasi.
Apakah bisa tambah info kenapa ‘sertifikasi FSC ini mahal dan kemungkinan tidak layak untuk hasil hutan bukan kayu’?
Trims,
Bart